Kisah Antara Gue dan Raisa Andriana (part 2)
Sejak pertemuan itu, gue dan Raisa
Andriana gak pernah ketemu lagi. Waktu terus berlalu seiring gue menunggu kehadirannya. Terkadang gue terpikir untuk menyerah, “Ya sudahlah. Mungkin dia
bukan jodoh gue. Lagi pula, gue ini siapa? Gue hanya lelaki ganteng yang super
keren dan gaul abis, sangat tidak mungkin buat dapetin wanita secantik Raisa.”
Beberapa bulan kemudian, di saat
gue nggak mengharapkan kedatangannya, Raisa justru hadir. Melalui selebaran kumal
yang gue dapat di pinggir jalan, gue melihat gambar dirinya memakai blouse
bergaris hitam-putih, dan juga tiga penyanyi laki-laki lain. Di sudut kanan
bawah terdapat jadwal dan tempat mereka melaksanakan konser.
Nggak ada niatan sama sekali awalnya
untuk datang ke konser itu. Sudah cukup lelah gue menunggu, sementara dia mungkin
asik dengan kehidupannya dan nggak peduli sama sekali dengan gue. Setiap malam gue
kirim mention lewat Twitter dan besok paginya gak ada balasan. Gue
tunggu sampai besok lusa tetapi belum ada respon. Padahal di timelinenya banyak
tweet-tweet baru yang ditulis. Hiks.. Cukup
tau aja, Rai.
Di sisi lain, alasan kenapa gue
males buat ketemu Raisa adalah: tiketnya mahal banget, bok! Tiket paling murah itu
tiket festival seharga 100 ribu. Dengan uang segitu, gue bisa beli oli motor
tiga kaleng, plus sama upah montir (meskipun sebenarnya ngapain juga beli oli
banyak-banyak).
Hingga pada suatu hari, handphone
gue bunyi ketika dosen sedang menjelaskan Tahapan
Move On yang Baik dan Benar untuk Mahasiswa. “Pak, izin angkat telepon,”
ujar gue seraya melangkahkan kaki keluar kelas.
“Halo, ini siapa?” tanya gue,
setelah melihat nomor asing di layar handphone.
“Ini Raisa. Raisa Andriana. Kamu
dateng kan nanti pas konser aku?”
“Ra-Raisa?!” Gue terkejut. “Ini
Raisa? Serius? Bukan Raiso, kan?!”
Terdengar hembusan napas kecil di
ujung sana. “Yaiyalah! Kamu, pokoknya, HARUS, DATENG!” tegas perempuan itu, lalu telepon putus seketika. Tut.. tut.. tut..
Sepulangnya dari kuliah, gue
menarik gas motor penuh, pergi ke cafe yang menjual tiket konser Raisa Andriana
dan ketiga penyanyi gak penting
lainnya. “Ayo, Ujank! Kita harus cepat!” teriak gue. Sepanjang jalan hati gue
berbunga-bunga, senyum gue memekar setelah lama layu.
Dengan cepat gue memarkirkan motor,
masuk, lalu menaiki tangga cafe untuk menemui Mbak Kasir yang duduk di belakang
mejanya. Dalam waktu 15 menit gue sudah memegang satu tiket tribun seharga 150 ribu.
“Alhamdulillah,” ucap gue dalam hati berbarengan dengan langkah kaki keluar
cafe. Tetapi ada sebuah pertanyaan yang mengganjal dan mengganggu pikiran gue
saat itu,
“Besok gue makan pake apa ya?”
Singkat cerita, hari yang dinanti
pun tiba. Gue mengawalinya dengan perasaan yang tidak biasa. Seperti ada letupan-letupan
kecil di dalam hati seolah menandakan bahwa gue sedang benar-benar
bahagia. Kegiatan gue hari itu selain kuliah adalah rapat dengan BEM. Jadwal
rapat sangat berdekatan dengan jam dimulainya konser, sehingga gue meminta
untuk izin pulang duluan. “Mau nonton Ayank Raisa,” ujar gue ketika ditanya
oleh Gubernur Mahasiswa Psikologi.
Sekitar pukul 7 setelah shalat
isya’ gue berangkat dari kampus. Jalan menuju Universitas Negeri Malang yang
menjadi tempat diadakannya konser mendadak macet (padahal biasanya juga macet,
sih). Graha Cakrawala sudah sangat ramai ketika gue tiba di sana.
Handphone di saku celana gue
bergetar. “Halo?” kata gue sedikit berteriak agar suara gak tenggelam oleh
keramaian orang di sekitar sana.
“Kamu di mana?” tanya seorang
perempuan. Gue ingat suara itu. Dia yang beberapa minggu lalu menelpon dan
mengaku-ngaku Raisa Andriana.
“Gue... gue gak tahu ini di mana.”
“Samperin aku di deket booth minuman berenergi. Buruan! Bentar
lagi aku naik panggung.”
Entah mungkin karena terbawa
suasana atau apa, gue langsung buru-buru memasukkan handphone ke dalam saku,
kemudian mencari di mana letak booth minuman
berenergi yang dimaksud. Sementara dalam pikiran gue masih menerka-nerka,
“Barusan itu beneran Raisa nggak sih?!”
Tepat di sebelah kanan booth makanan siap saji ada sebuah tenda
putih yang dijaga seorang SPG berbedak tebal. SPG itu memakai seragam biru
kekecilan. Tepat di dada ratanya ada logo bertuliskan MELEK ENERGY DRINK. Dengan cepat otak gue memproses gambar tersebut
kemudian memerintahkan kaki untuk berjalan ke sana. Kepala gue nggak
henti-henti menengok ke kiri dan ke kanan. Mata gue terus mencari sosok
perempuan dengan postur tubuh tinggi, kulit putih bersih dan rambut yang lembut
banget karena keseringan pake shampoo.
Handphone di dalam saku gue ambil
kembali, lalu menekan nomor paling atas di daftar riwayat panggilan. Selang
sedetik kemudian, suara opertor yang justru menjawab telepon gue. Sial!
Gue bertanya dengan SPG dada rata, “Mbak,
ada lihat Raisa gak?”
SPG dada rata menggelengkan
kepalanya. “Tapi kalau minuman berenergi ada nih. Mau?”
Pertanyaan gak penting itu gue
acuhkan, mata gue kembali menelusuri kumpulan manusia yang berjalan
berdesak-desakan. Dalam hati gue, “Kayaknya dia udah ke backstage deh. Atau mungkin orang yang nelepon itu iseng. Ya,
iseng. Mana mungkin Raisa. Mustahil... Pasti mustahil!”
“Hey!” Seseorang menepuk pundak
gue. Ketika gue membalikkan badan, cahaya menyerang mata gue. Silau. Sekilas terlihat
sosok perempuan dibalik cahaya itu. Seiring dengan pupil yang menyesuaikan diri
dengan jumlah cahaya, sosok perempuan tadi jadi semakin utuh dan jelas. Gue
terpaku dihadapan perempuan itu, bahkan rasanya darah gue ikut berhenti
mengalir.
Dengan lincah tangannya menarik
tangan gue, lalu menyejajarkan badan gue dengan badannya yang wangi parfum
mahal. “Fotoin dong!” ujarnya seraya menodongkan handphone gue yang sempat
direbutnya kepada seorang pengunjung yang kebetulan lewat.
Selesai foto-foto, wajahnya yang sedari
tadi menunjukkan ekspresi bahagia mendadak berubah menjadi suram. Dia bilang ke
gue, “Makasih ya, sampai jumpa lagi. Dadah...” Lalu dia pergi menjauh, hilang
di tengah keramaian, di saat gue belum mengucapkan sesuatu apapun.
Gue menatap layar handphone di tangan kanan. Kemudian gue tersenyum kecil, malu melihat muka sendiri yang tampak grogi diliatin sama Raisa Andriana.
Tiga penyanyi gak penting itu siapa ya? hahaha
ReplyDeleteCiee akhirnya foto bareng raisa, meskipin itu.........gapapa kok tetep raisa yang penting :D
Kok tulisan gue menjijikan begini sih?
ReplyDeleteHahaha lama kelamaan aku jadi turut prihatin atas penyakit ke-tidak-jelas-an yang kau derita mas :')
ReplyDeleteBahahaha gokil! Imajinasi lu mantep, Us! :D
ReplyDeleteAduh potonya mesra sekaliii
ReplyDeleteBacanya agak-agak kasian gimana gitu :|
ReplyDeleteAbisnya segitunya :|
Ciee foto bareng Raisa :D
ReplyDeleteSemoga kedepannya bisa pegang tangan pas di pelaminan ya. hehe
Aamiin Gan, yang penting usaha dl aja hehe
Delete