Writer's Block?

Belakangan ini gue mengalami kesusahan dalam menuangkan ide ke dalam tulisan. Gue merasa, kayaknya ada saluran yang mampet di otak gue, sehingga tiap kali nulis, gue lebih banyak bengongnya. Padahal, sudah dua minggu ini gue nggak ada mikir jorok.

Dua malam yang lalu, setelah bengong di depan laptop selama berjam-jam dan hasilnya cuman separagraf (itu pun akhirnya dihapus), gue memutuskan untuk tidur saja. Gue rebahan dan meremin mata, tapi kok nggak bisa tidur?! Kurang lebih tiga jam gue uring-uringan di kasur. Pikiran gue menjelajah ke mana-mana, sampai pada satu titik permasalahan. Kayaknya gue susah tidur gara-gara mikirin masalah nulis, deh.

Kenapa gue jadi susah nulis? Kenapa gue susah merangkai kalimat per kalimat? Kenapa gue jadi orang yang sepertinya nggak pernah nulis sama sekali sebelumnya?

Malam itu gue bener-bener gelisah. Sebenarnya apa yang salah?

Setelah berjam-jam merenung, akhirnya gue membuat sebuah kesimpulan: apa jangan-jangan ini yang namanya writer’s block?

Dengan sigap, gue mengambil tablet, membuka browser, lalu mengetik “Pengertian Writer’s Block”. Dan ternyata memang benar kalau gue lagi kena writer’s block. Dari beberapa artikel yang gue temukan, gue memilih mengutip pengertian writer’s block dari website warungfiksi.net.

“Writer’s block adalah fenomena hilangnya secara sementara kemampuan seorang penulis dalam memulai atau melanjutkan tulisannya.”

Setelah gue baca-baca lagi, ternyata ada banyak sekali penyebab terjadinya writer’s block. Tetapi dalam kasus gue pribadi, sepertinya yang menjadi penyebab adalah kelelahan dan ruang yang nggak nyaman. Gue sadar waktu itu terlalu memaksakan diri untuk menulis, padahal kondisi gue sudah capek banget karena seharian kuliah. Di sisi lain, kamar kost yang kecil dan pengap juga ambil bagian dalam menimbulkan writer’s block.

Setelah memahami apa penyebabnya, gue mencoba mencari tempat yang nyaman untuk menulis. Tempat yang nyaman itu subjektif banget. Bagi gue, tempat yang nyaman itu adalah tempat yang dingin, luas dan bisa rebahan/senderan.

Selain itu gue juga menyegarkan otak terlebih dahulu sebelum memulai mengetik. Berhubung gue hobi banget tidur pagi (padahal di waktu pagi otak lagi seger-segernya), jadi gue memilih menulis setelah selesai mandi saja.

Setelah membuat tempat menjadi nyaman dan otak menjadi segar, ada satu hal lagi yang gue rasa penting banget, tetapi sifatnya preventif/pencegahaan. Gue menemukan sebuah quote yang keren tapi lupa punya siapa dan ketemu di mana. Bunyi quote tersebut begini:

“Menulislah dengan hati, editlah dengan pikiran.”

Berdasarkan pengalaman selama menulis, pernyataan di atas itu bener banget. Gue sering menulis dengan pikiran, sehingga membuat proses menulis menjadi lamban. Gue tulis, gue baca, gue edit. Tulis, baca, edit. Gitu-gitu terus sampai Dajjal muncul ke bumi. Padahal sebaiknya ketika menulis itu, ya tulis aja. Masalah bagus enggaknya, nanti dipikir belakangan sewaktu editing. Oleh karena itu dibuatlah istilah: menulis dengan hati, dengan pikiran.