Kuliah: Penjara Berkedok Pendidikan

Kemarin sore, asisten menjelaskan tugas yang harus kami selesaikan satu bulan ke depan. Mendengar penjelasan itu anak-anak kelas, termasuk gue, menjadi semakin stres. Semakin GILA.

Bener, tugasnya cuman ada dua, tapi buat menyelesaikannya gak segampang nyabut bulu ketek. Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui, dan itu butuh waktu sebulan lebih. Sama. Tugas yang lain juga begitu.

Ditambah lagi, kami ini mahasiswa psikologi yang tugasnya selalu berhubungan sama orang lain. Kami nggak bisa mengerjakan tugas di dalam kamar, duduk berjam-jam, dan -fuala- selesai. Nggak bisa begitu. Kami harus keluar mencari orang, minta bantuan, lalu bikin janji sama mereka (yang pastinya juga punya kesibukan), and doing some syits. Di situ yang sulit.

Kata mereka, “Ilmu nggak cuman ada di dalam kelas.”

Oke, gue sudah mencarinya di luar. Gue ikut BEM, ikut komunitas blogger, dan menulis naskah. Tapi kayaknya gue sulit meluangkan waktu untuk hal-hal itu. Waktu gue habis cuman buat tugas doang.

Semakin hari, gue semakin mikir, “Ini kuliah kok kayak penjara?! Ditekan, dipaksa, dikungkung oleh yang namanya tugas. Ya, kuliah memang penjara. Penjara berkedok pendidikan!”

Wajar kalau pemuda endonesia sedikit yang berkembang. Kita semua dipaksa memenuhi harapan-harapan para dosen. Sementara kenyataannya potensi setiap mahasiswa berbeda. Sehingga yang dapat nilai C dianggap bodoh. Padahal sebenarnya mereka pintar, cuman potensinya bukan di sana.

Udah ah. Ngomongin beginian bikin gue mual. Mau muntah.