Tentang Tulisan 'Kuliah: Penjara Berkedok Pendidikan'

Mungkin kalian yang sudah membaca tulisan berjudul ‘Kuliah:Penjara Berkedok Pendidikan’ akan bertanya, “Emang kerjaan lo ngapain aja sih, Us? Sok sibuk banget!”

Ya, sebenernya nggak terlalu sibuk kalo dibandingin sama kerjaannya Presiden SBY.

Hah? Jokowi? Presiden? Lho, udah ganti ya? Kok nggak berasa?

Pokoknya setelah bangun tidur itu gue sudah ada kegiatan. Mulai dari kuliah, ngerjain tugas atau ngurusin acara Dekan Cup yang baru dibuka Sabtu kemarin.

Sejak selesainya acara pembukaan Dekan Cup, gue langsung jatuh sakit. Mungkin karena kelelahan berkegiatan, atau emang fisik gue yang terlalu rapuh. Bermula dari tenggorokan perih sewaktu bangun di pagi hari. Lalu, disusul flu dan demam di hari berikutnya. Bahkan baru-baru ini, pencernaan gue juga ikut terganggu. Gue sukses kena mencret. Perut sakit. Bawaannya pengen boker melulu.

Namanya juga sakit, pasti nggak enak. Nah, hal yang paling nggak mengenakkan dari mencret, menurut gue, adalah: kalo ‘keluar’ nggak bilang-bilang.

Jadi ceritanya begini. Suatu malam, sewaktu lagi duduk di kursi sambil ngerjain tugas, perut gue mendadak rewel. Dalam sedetik, perut gue bisa mengeluarkan angin (baca: kentut) sampai seribu kali. Semenit kemudian, pantat gue sobek-sobek.

Oke, bercanda.

Brot... Kentut pertama keluar dengan lancar. Gue lanjut mengerjakan tugas di laptop. Selang hitungan detik, gue ngerasa pengen kentut lagi. Gue ngeden dikit... Broot... Kentut kedua sukses. Gue lanjut tugas lagi. Beberapa menit kemudian, rasa pengen kentut datang lagi. Dalam hati gue, “Daripada brat brot brat brot, ribut, ganggu kamar sebelah. Mending sekalian keluarin anginnya semua.” Akhirnya, gue mengangkat pantat bagian kanan, mengambil ancang-ancang, lalu ngeden sekuat-kuatnya... dan brooootsss... gue mencret di celana.

Sambil megangin pantat, gue ngacir ke WC.

Terlepas dari segala penyakit itu semua, rupanya, menuliskan uneg-uneg di blog itu ada manfaatnya. Jadi minggu kemarin, pagi-pagi sekali, gue menulis tulisan ‘Kuliah: Penjara Berkedok Pendidikan’. Dengan semangat dan emosi yang meluap-luap, gue menuliskan segala keresahan mengenai perkuliahan. Setelah selesai, gue publish di blog, lalu gue share ke grup Facebook kelas.

Awalnya gue mikir, “Gile. Tulisan gue keren banget, cuy! Kritiknya pedes abis! Pasti temen-temen bakal bangga sama gue.” Namun, setelah membaca kembali dua jam kemudian, gue membatin, “Sial! Kenapa jadi menjijikkan gini sih? Pasti temen-temen bakal mencaci gue abis-abisan.”

Ya, gue mengakui kalo tulisan itu terlalu sangar dan banyak kata-kata kotor. Kritiknya juga nggak membangun. Bahkan gue nggak percaya kalo itu tulisan gue sendiri. Seandainya gue pembaca, gue akan berasumsi bahwa tulisan tersebut ditulis oleh cewek PMS yang hobi berantem sama anakonda.

Malamnya, saat gue lagi diam merenung di depan tv, tiba-tiba terlintas di otak gue, “Bentar bentar.. Tadi pagi gue ngeshare tulisan di grup kelas. Sementara di sana, bukan cuman mahasiswa, tapi ada dosen wali juga.”

MAMPUS.

Gue buru-buru buka Facebook, lalu mengecek siapa aja yang sudah liat link tulisan itu. Dan gue menemukan satu nama, yang nama itu nggak ada di daftar absen kelas. Yup! Itu nama dosen wali kelas gue, dan pasti, beliau sudah membaca tulisan hina tersebut. Dengan tekad bulat, gue memutuskan untuk nggak buka FB dua hari.

Selang dua hari, gue mencoba memberanikan diri untuk mengecek notifikasi FB. Rupanya sudah ada beberapa respon terhadap tulisan tersebut, termasuk juga respon dosen wali. Jleb! Gue langsung memukul kepala dengan laptop, sambil mengucapkan kalimat ‘Daus bodoh!’ berulang kali.

Setelah gue baca baik-baik, alhamdulillah, respon beliau bukan balik membantah keluhan-keluhan gue, tetapi justru membukakan pintu untuk berbagi.

Selain itu, ada beberapa teman yang setuju dan memberi semangat.

Oiya. Satu lagi, keuntungan menuliskan uneg-uneg dan membagikannya kepada orang lain juga membuat kita menjadi lebih rileks. Beneran. Keresahan itu ibarat tokai. Kalau dipendem bikin mules, tapi kalau dikeluarin jadi plong. Nggak percaya? Cobain deh!