Dosbing Tak Kasat Mata

Kenalin, nama gue Nabil.

Ini pengalaman pertama gue dalam menulis sebuah cerita, karena sebelumnya tidak pernah sama sekali. Alasan mengapa gue menulis mulanya karena dipaksa teman-teman. Mereka ingin gue menuliskan sebuah cerita nyata yang gue alami sendiri.

Namun kalian jangan khawatir. Tulisan ini sudah diedit sedemikian rupa oleh seorang teman, namanya Firdaus. Dia adalah blogger handal. Gue meminta bantuannya agar kalimat-kalimat dalam tulisan ini mudah dipahami, juga ceritanya dapat terpatri dalam ingatan kalian semua.

“Lo harus tulis cerita ini, Bil!” ujar Usman, ketika gue selesai menceritakan sebuah pengalaman pribadi kepadanya.

“Setuju! Sumpah, ini cerita terseram yang pernah gue denger!” tambah Eko.

Mulanya gue ragu. Tetapi pelan-pelan gue coba, akhirnya bisa. Untuk menyelesaikan cerita ini, gue menghabiskan waktu sekitar dua minggu. Kemudian naskah gue serahkan kepada Firdaus, untuk diedit selama setengah jam saja! Teman gue itu emang jago sekali dalam hal tulis-menulis.

Jadi, cerita ini terjadi sekitar satu tahun lalu, saat gue masih menjadi mahasiswa. Tepatnya, ketika gue sedang sibuk menyelesaikan skripsi. Namun untuk latar tempat, hampir semua kejadiannya terjadi di kamar kost gue.

Baik. Mari kita mulai saja ceritanya.

Semua berawal dari sebuah ruangan yang pengap dan tegang.

Seorang lelaki tua berkulit gelap sedang membaca proposal skripsi di depan gue. Sesekali ia membetulkan kacamatanya, membolak-balik lembar proposal. Sesaat kemudian, ia memajukan badannya, mendekati meja, lalu mengambil pulpen dari saku baju.

“Ini apa ini?!” tanyanya.

“Apanya yang apa, Pak?” tanya gue dengan polos.

Dia melingkari sebuah kata di antara kalimat-kalimat. “Wibowo itu siapa?”

“Wibowo? Siapa ya, Pak?”

“Ditanya, malah tanya balik!” bentaknya.

Gue diam.

“Terus ini! Maksud dari tabel ini apa?!” tanya Bapak itu lagi.

“Ngg.. Kayaknya—“

“DI SKRIPSI ITU NGGAK ADA KATA KAYAKNYA!” potong beliau. Padahal gue belum selesai bicara. Akhirnya gue diam lagi.

Beliau mengecek halaman selanjutnya. Lalu bertanya lagi. “Ini grafik apa ini?! Saya nggak paham!” Ia mengarahkan ujung pulpen ke sebuah grafik—di mana grafik itu gue lupa kapan membuatnya. Atau jangan-jangan, memang nggak pernah gue buat?

“Grafik ini... maksudnya gini lho, Pak,” ujar gue, “masa Bapak nggak ngerti, sih?” Gue diam sebentar, menggaruk kepala. “Nghh.. Gini lho...” Gue mendadak gelisah. Keringat mulai bercucuran. Lalu tiba-tiba, air mata gue mengalir.

“Sa-saya juga nggak ngerti, Pak. Huhu..” Mendadak gue menangis.

Bapak tua di depan gue, yang mulanya geram, jadi celingak-celinguk kebingungan. Ia panik. Ia memukul pelan lengan gue sambil menyuruh berhenti menangis. Gue membenamkan wajah di telapak tangan sambil tersedu-sedu.

“Ya sudah, Nak, ya sudah. Kamu saya ACC,” kata Bapak di depan gue ini.

Tangisan gue langsung hilang. Gue membuka telapak tangan. “Beneran nih?!”

Bapak itu mengangguk. “Tapi seminar proposalnya minggu depan. Soalnya, nanti malam saya mau ke luar kota sampai akhir pekan.”

“Oh, gak masalah, Pak. Santai aja. Yang penting sudah ACC kan, Pak?” Gue bicara santai, seakan-akan sebelumnya tidak terjadi apa-apa.

Bapak itu mengangguk sekali lagi. Gue pun pamit.

Dalam perjalanan pulang menuju kost, hati gue diselimuti rasa gembira. Skripsi sudah ACC. Dosbing ke luar kota. Itu berarti gue bisa santai-santai selama seminggu. Ah, senangnyaaa!

***

Keesokan harinya, gue bangun kesiangan. Setelah semalaman suntuk begadang. Biasalah, main Dota 2. Gue kalau main Dota 2 suka lupa waktu. Mulai dari jam sepuluh malam, niatnya cuman sampai jam dua belas, tahu-tahu sudah adzan subuh.

Hari itu, gue tidak ada kegiatan apa-apa selain menulis materi presentasi untuk seminar. Kuliah gue sudah selesai sejak semester lalu. Jadi, gue pergi ke kampus pada waktu bimbingan saja. Sisanya bersantai.

“Tapi kayaknya, gue harus tulis materi mulai sekarang deh. Biar nanti gak gelabakan,” ujar gue kepada diri sendiri. Mantap.

“Eh tapi kan, gue belum makan? Belum mandi? Hm.. Kalau gitu, nanti aja deh nulisnya!” Mantap.

Gue pun melanjutkan aktivitas di atas kasur, yaitu mengecek sosial media satu per satu.

Aktivitas itu gue lakukan cukup lama. Tidak terasa sudah jam sebelas siang. Dengan malas gue bangkit dari kasur, mengambil botol minum, lalu menenggaknya.

“Kayaknya nulis presentasi mulai besok aja deh. Masih ada seminggu lagi juga,” ujar gue kepada diri sendiri. Lalu, diri gue yang lain menyahut, “Bener. Ide bagus, tuh!” Akhirnya, nggak jadi menulis beneran.

Gue pun kembali ke kasur. Lalu, memainkan sosial media di handphone. Saat sedang asyik scroll timeline Twitter, tiba-tiba ada panggilan telepon dari nomor asing. Takut itu penting, gue langsung menerimanya.

Melalui speaker terdengar suara serak, “Hh.. Hhalo.. Ini Pak Joko.. Tol.. Tol..

“Jalan tol?”

“Tol.. Tol..”

“Toloy? Si Toloy Bocah Sakti itu?”

Tolonghh..”

Tut.. Tut.. Tut..

Belum sempat gue bertanya minta tolong apa, telepon terputus. Gue khawatir. Jadi gue telepon balik. Tapi nomornya sudah tidak aktif. Akhirnya gue SMS saja. Dengan harapan, beliau tidak menganggap gue sebagai mahasiswa yang tidak peduli terhadap dosennya.

Oh iya, pasti kalian belum tahu. Pak Joko itu dosbing gue yang kemarin bilang mau ke luar kota. Gue baru tahu kalau ternyata beliau punya nomor lain. Jadi nomor barusan gue simpan saja. Siapa tahu nanti perlu.

Cerita Parodi Keluarga Tak Kasat Mata Kaskus Genta
Si Toloy Bocah Sakti, Sinetron Laga 90an
Dua hari berlalu, sejak terakhir kali gue bimbingan. Gue belum menyentuh skripsi sama sekali. Niat menulis materi presentasi kemarin belum terlaksana sampai sekarang. Betul kata orang-orang, skripsi itu bukan pertempuran antara kamu dan pembimbingmu, melainkan kamu dan dirimu sendiri.

Malam itu, gue memutuskan untuk mulai menulis. Gue tidak mau dikalahkan oleh diri sendiri. Gue langsung duduk di kursi belajar. Di depan gue, laptop sudah menyala, menampilkan desktop. Baru saja gue membuka folder skripsi, tiba-tiba sebuah chat muncul dari Steam, Dota 2.

“Bil, main, Bil!” ujar Gepeng, teman gue se-kost.

Gue terdiam sejenak. Tangan gue sudah siap meng-klik file skripsi. Tapi mata gue terpaku menatap isi chat tersebut. Terjadilah pergolakan batin.

Skripsi? Dota?

Skripsi? Dota?

Skripsi? DOTAAA! Bodo amat, lah! Masih ada lima hari lagi!

Malam itu, sekali lagi, gue batal menulis materi. Gue langsung memasang headset gaming, bersiap main.

Saat itu pukul delapan malam. Permainan pertama mampu gue menangkan. Lanjut ke permainan kedua, ternyata gue kalah telak. Gue main lagi. Gue tenggelam dalam permainan. Tidak terasa, waktu telah menunjukkan pukul satu. Dan entah mengapa, malam itu hawa di kamar terasa berbeda. Sedikit gerah dari biasanya. Hal itu membuat fokus gue terganggu. Akhirnya gue melepas kaos, membiarkan tubuh telanjang dada.

Kalau main Dota, konsentrasi kita memang harus penuh. Fokus sama monitor dan suara di headset. Kalau tidak, hero kita bisa gampang mati. Jadi, kalau kalian punya teman penggila Dota, jangan marah jika sering dicuekin.

Saat itu, gue sedang melakukan penyerangan ke markas musuh. Dari headset, terdengar suara teman-teman pada berteriak mengatur strategi. Gue mendengarkan saja. Fokus.

“Towernya, Bil! Serang!”

“Belakang lo! Awas!”

“STUN! STUN!

Sebuah suara sengau juga muncul di antara yang lain. “SKRIPSI, BHIIIL!

Sreeet! Bulu kuduk gue langsung berdiri.

“WOY! SUARA APAAN TADI?” teriak gue.

“Apaan?”

“Iya nih. Apaan sih?”

Gue terpaku. Tangan gue mengelus pundak. Suara itu masih terekam jelas di otak dan terulang-ulang. 'Skripsi, Bhiiil~ Skripsi, Bhiiil~'. Suaranya sangat familiar. Seperti suara Pak Joko. Seperti suara dari telepon asing dua hari lalu.

“Bil, di belakang lo ada musu... Ah, elah. Kenapa lo diam aja, woy?!” ujar teman gue dari kejauhan. Entahlah itu siapa. Gue tidak peduli. Gue langsung menutup laptop, berlari ke kasur, dan bersembunyi di dalam selimut. Suara itu benar-benar menyeramkan.

***

Sejak kejadian itu, gue jadi suka parno. Juga gampang banget kaget. Pernah suatu malam cuaca lagi gerah banget, akhirnya gue memutuskan untuk mandi. Di dalam kamar mandi tidak terjadi apa-apa. Tapi begitu selesai, gue buka pintu, gue kaget setengah mati.

“Astaga! Gue kira tuyul!” sewot gue, kepada teman kost yang kepalanya botak.

Pernah juga, gue lagi asik tiduran sambil main handphone. Posisi tidur menghadap ke tembok dan membelakangi pintu. Suasana sunyi. Tiba-tiba, ada yang menyolek punggung gue dari belakang. Refleks, gue keluarkan jurus karate yang pernah gue pelajari waktu SD. Melihat atraksi dadakan itu, teman gue kaget sebentar, lalu ngakak setengah mampus.

Sampai pada suatu hari, kejadian aneh benar-benar terulang. Kali ini munculnya tidak mendadak namun cukup mengherankan. Fenomena ini terjadi malam-malam. Saat gue baru saja menyewa film dari rental DVD. Sesampainya di kost, film itu gue putar lewat laptop. Gue memang hobi menonton film lama koleksi rental.

Gue pikir film yang gue putar itu genre komedi tapi rupanya semi-horror begitu. Jadilah malam itu gue parno. Perasaan takut mulai muncul. Gue menonton sambil menutup setengah wajah pakai bantal, dan merapatkan punggung ke dinding. Khawatir nanti ada yang memeluk dari belakang.

Belum ada setengah jalan, film yang gue putar rusak. Gambarnya tersendat dan tidak ada suara. Tidak lama, DVD drive di sisi kanan laptop terbuka sendiri. Ctak!

Heran. Gue masukan lagi. Gue klik tombol play. Film kembali berjalan normal. Namun kejadian sama terulang kembali. Gambar rusak, DVD drive terbuka sendiri. Gue pikir ini masalah teknis, mungkin ada yang rusak. Jadi, gue masukan lagi DVD drive beserta kaset di dalamnya. Tetapi, yang tampil di layar kali ini bukanlah film, melainkan layar hitam penuh, dengan tulisan ‘SKRIPSI! SKRIPSI! SKRIPSI!’ berwarna merah darah di mana-mana.

Menyadari hal ini bukan kerusakan teknis, akhirnya gue keluarkan DVD drive-nya dengan paksa. Namun apa yang terjadi? Kasetnya berubah! Semula, kaset itu bergambar sampul sebuah film. Tetapi kini jadi gambar cewek-cewek berpakaian seronok, dengan tulisan ‘KOMPILASI DANGDUT REMIX 2016’.

Gue lari terbirit-birit keluar kamar, menyalakan motor, lalu pergi ke kost teman sekampus, namanya Farabi.

Sesampainya di sana, gue langsung menceritakan seluruh kejadian aneh seminggu belakangan ini. Mulai dari telepon asing yang mengaku-ngaku dari Pak Joko, suara seram di headset gaming, dan kejadian aneh yang barusan terjadi. Farabi mendengarkan sambil memasang tampang takut. Ia dari awal ingin bicara, memotong cerita gue. Tapi gue bilang jangan, selesaikan gue cerita dulu.

Kurang lebih setengah jam gue cerita. Farabi pun buru-buru bangkit dari kursinya, menghampiri gue yang duduk di tepian kasur. Dia tampak ketakutan sekali. Dia menyembunyikan seluruh tubuhnya dengan selimut, menyisakan kepalanya saja. Sebelum bicara, dia melihat ke sekitar, seperti takut ada yang mendengar.

“Lo gak dengar berita terbaru, Bil?” suaranya lirih.

Gue menggeleng.

“Duh.. Tadi siang kampus geger tau! Ada berita duka. Pak Joko meninggal dunia.” Suara lirih Farabi sontak membuat gue merinding. Gue ikut bersembunyi dalam selimut, berebutan.

“Jangan becanda, ah! Gak seru lo!”

“Serius! Mayat Pak Joko ditemukan di tengah-tengah hutan arah ke Solo. Ujar kabar yang beredar, beliau dirampok dalam perjalanan. Gak ada barang satu pun yang tertinggal. Hanya pakaian sama badan yang sudah membusuk.”

“Ini lo becanda kan?!” tanya gue tidak percaya.

“Astaga! Lo gak lihat nih, gue ketakutan begini?!”

Suasana jadi hening sejenak. Gue teringat kapan terakhir kali bertemu beliau, yaitu saat bimbingan. Terbayang wajah beliau yang garang dan agak gelap. Tampak seperti preman, memang. Tetapi sebenarnya beliau orang baik. Gue jadi merasa bersalah karena mengabaikan panggilan beberapa hari lalu itu. Siapa tahu itu memang benar dari Pak Joko? Dia mau meminta tolong ke gue. Namun karena gue abaikan, akhirnya beliau dibunuh, lalu arwahnya menggentayangi gue.

“Hiii..” Gue bergidik sendiri.

Namun pertanyaannya, kenapa beliau menghubungi gue? Kenapa bukan keluarganya saja yang lebih dekat? Dan setelah gue sadari, kenapa kejadian-kejadian aneh itu selalu muncul saat gue lagi bersantai dan mengabaikan skripsi? Apa maksud dari semua ini?

Ah, entahlah. Gue belum bisa menjawabnya.

Lalu, di antara keheningan malam itu, dering handphone gue mengagetkan kami berdua. Ada sebuah panggilan masuk. Gue ambil handphone dari saku celana. Begitu melihat nama yang tertera di layar, gue dan Farabi menjerit ketakutan.

“KERJAKAN SKRIPSI?!”

Cerita Parodi Keluarga Tak Kasat Mata Kasus Genta

12 comments:

  1. Foto yg terakhir jahanam bgt us.

    Apa2an cover film di kaset berubah jadi gambar dangdut remix -.-

    ReplyDelete
  2. Malem minggu gue kenapa berubah jadi malem jumat gini ya...

    ReplyDelete
  3. Sialan. Serem banget, Us. Maka aku lagi sendirian di kamar nih. Ini aku ngerapatin punggung di dinding aja dah. Takut ada Pak Joko meluk dari belakang. :(

    ReplyDelete
  4. Si Toloy!

    Masih inget aja sama jagoan satu itu! Lucu Us. Tapi jadi tragis gitu endingnya. Satu selimut berdua.

    ReplyDelete
  5. Pertanyaannya apa sampai sekarang arwah Pak Joko masih gentayangan...

    ReplyDelete
  6. Gue anak 90-an, tapi gue nggak tau siapa itu si Toloy :(

    Yawlaaaa. Kenapa gue baca ini pas lagi sendirian di kantor sih elah. Serem bet pas di bagian dibisikkin suara-suara gitu.

    Sambung baaaang

    ReplyDelete
  7. ceritanya rada2 mirip sama siluman capung, ada kasat2 matanya gitu.

    btw, itu setan macam apa yang nelpon wkwkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. ini kan cerita parodi dari salah satu thread kaskus "Keluarga Tak Kasat Mata" yang booming itu loh mz :(

      Delete
  8. Baguuuus. Kamu kalau bikin cerita enak dibaca Us. Btw tapi gak serem :( mau lagi yang serem, plissss!

    ReplyDelete
  9. Kirain bakal dibikin banyolan semua :' ternyata kok akhirnya ngeri juga Us :(

    ReplyDelete

Powered by Blogger.