Nikah itu Dibeli atau Diculik?

Entah kenapa, belakangan ini gue sering banget denger kata ‘nikah’.

Pertama, sewaktu Puteri, sahabat gue dari SMP, menikah tanggal 23 November kemarin.

Kedua, di recent updates BBM. Banyak temen gue yang pasang status, “Udah capek kuliah. Pengen nikah aja.”

Dan terakhir, ketika makan bareng sama anggota FIKASI seusai rapat departemen. Gue lagi mengunyah daging bebek goreng, tiba-tiba Firrizqi nanya ke Kiki, “Katanya di Kalimantan, kalau mau nikah harus dibeli dulu ya?”

UHUK! Gue tersedak.

Kalau mau nikah harus dibeli dulu, ucap gue dalam hati. Sebagai warga Kalimantan, gue nggak pernah mendengar hal itu. Pengen banget gue nanya ke Firrizqi, “Tunggu dulu, Fir. Nikahnya sama manusia apa sama domba?”

Setelah dijelaskan ulang maksud pertanyaannya, barulah gue mengerti. Yang dimaksud Firrizqi itu adalah ‘uang jujuran’.

Gue mulai menjelaskan. Jadi, di Kalimantan (khususnya Kalimantan Selatan), kalau mau menikahi seorang perempuan, laki-laki harus membayar ‘uang jujuran’ terlebih dulu. Uang jujuran beda dengan mahar. Sekilas memang terlihat sama tetapi sebenarnya beda. Bedanya di mana, gue nggak tahu...

Besar nominal uang jujuran tergantung oleh orang tua perempuan (wali), mereka maunya berapa. Uniknya, terkadang ada orang tua yang nggak setuju dengan pernikahan tersebut, sehingga menaikkan harga uang jujuran setinggi-tingginya. Agar si laki-laki tidak mampu ‘menebus’ sang anak. Kasian...

Tapi ada juga orang tua yang nggak meminta uang jujuran. Jadi sifatnya lebih ke tradisi. Dijalankan oke, ditinggalkan juga nggak masalah. Kalau gue pribadi, seandainya nanti punya anak perempuan, gue akan mematok harga uang jujuran minimal 50 juta. Tiga anak perempuan, 150 juta. Wih, kaya mendadak gue! Tinggal gimana atur ‘gaya’ aja biar keluarnya nanti perempuan semua.

Firrizqi mengangguk paham. Lalu, Habib menyambung pertanyaan baru, “Di Lombok lucu lagi. Kalau mau nikah, katanya harus diculik dulu.”

Menyadari bahwa pacar sendiri orang Lombok, maka gue mengangguk mantap.

Pas liburan ke Lombok kemarin, mamanya Ranti sempat cerita ketika dia diculik ayah Ranti. Sambil menyetir mobil, Tante Sekar ngomong, “Waktu saya dulu, ayah Ranti bilang ke orang tua saya. Dia mau menculik saya. Soalnya tradisi di keluarganya harus begitu, sementara keluarga saya enggak. Orang tua saya nolak. Akhirnya, ayah Ranti minta izin mau ajak saya keluar, makan bakso. Padahal sebenernya mau nyulik.”

Di jok belakang, gue menyimak dengan baik. Tapi gue sedikit kecewa karena konsepnya kurang greget. Masa cuman diajakin makan bakso? Kalau gue nanti nyulik Ranti konsepnya harus keren. Misalnya: Ranti dalam perjalanan pulang dari kantor, gue cegat pake mobil Jeep, gue ikat badannya, lalu gue bawa ke warung bakso.

“Tapi kalo Ranti nggak perlu diculik,” lanjut Tante Sekar. “Soalnya nama Ranti nggak pake ‘Baiq’ sama kayak saya.”

Gue mengangguk paham. Dari cerita tersebut, gue menyimpulkan: nikah sama perempuan Lombok enak. Kenapa? Karena kapan lagi kita nyulik orang, bukannya dipenjara tapi malah disuruh nikah.

Firrizqi, Habib, Kiki dan gue lanjut makan. Obrolan tentang pernikahan terhenti sejenak. Gue menyeruput es jeruk hambar kurang gula. Lalu, Habib memulai obrolan kembali. Dia nanya ke gue, “Mas, sampean kapan nikah?”

BHUUHUKKK!