Masa Kecil Suram Seorang Firdaus Ramdhan
Cupu
Gue yakin, kalian semua tidak tahu kalau dulu, sewaktu masih SD, gue adalah anak yang cupu. Pergi ke sekolah dengan seragam rapi berlebihan. Baju dimasukkan, celana tinggi sampai perut, rambut cepak belah pinggir dan disisir klimis, serta wajah penuh bedak. Seakan ingin menguatkan kesan cupu, gue juga memakai aksesori tambahan berupa botol air minum yang dikalungkan.
Dengan outfit super-cupu itu, gue memasuki halaman sekolah, berjalan menuju kelas dengan senyuman riang.
Kecupuan gue tidak sekedar dari pakaian, melainkan juga kemampuan. Sewaktu SD, permainan sepak bola adalah lambang kejantanan seorang cowok. Di antara semua cowok di kelas, ada beberapa yang tidak bisa main bola. Gue salah satunya. Setiap pelajaran olahraga, gue selalu duduk di pinggir lapangan, menatap nanar ke teman-teman yang bermain bola. Gue berbisik dalam hati, "Semoga bolanya ke arahku. Biar aku bisa tunjukkan ke mereka kehebatan tendanganku ini!"
Begitu ada bola datang, langsung gue tendang. Gue menunggu reaksi mereka. Tapi mereka malah mengejar bola. Gue tetap jadi cadangan.
Gue baru main kalau ada teman yang kecapekan lalu minta ganti. Dan setiap kali main, gue selalu dijadikan penjaga gawang. Katanya, penjaga gawang itu buat anak yang tidak jago. "Baiklah," ujar gue sambil menangis dalam hati.
Benar aja. Jadi penjaga gawang itu sama sekali tidak asik. Kerjaannya hanya berdiri di depan gawang. Lalu apa bedanya sama cadangan? Lebih na'as lagi kalau kebobolan, maka bersiaplah untuk dicaci habis-habisan.
Kecupuan gue tidak sekedar dari pakaian, melainkan juga kemampuan. Sewaktu SD, permainan sepak bola adalah lambang kejantanan seorang cowok. Di antara semua cowok di kelas, ada beberapa yang tidak bisa main bola. Gue salah satunya. Setiap pelajaran olahraga, gue selalu duduk di pinggir lapangan, menatap nanar ke teman-teman yang bermain bola. Gue berbisik dalam hati, "Semoga bolanya ke arahku. Biar aku bisa tunjukkan ke mereka kehebatan tendanganku ini!"
Begitu ada bola datang, langsung gue tendang. Gue menunggu reaksi mereka. Tapi mereka malah mengejar bola. Gue tetap jadi cadangan.
Gue baru main kalau ada teman yang kecapekan lalu minta ganti. Dan setiap kali main, gue selalu dijadikan penjaga gawang. Katanya, penjaga gawang itu buat anak yang tidak jago. "Baiklah," ujar gue sambil menangis dalam hati.
Benar aja. Jadi penjaga gawang itu sama sekali tidak asik. Kerjaannya hanya berdiri di depan gawang. Lalu apa bedanya sama cadangan? Lebih na'as lagi kalau kebobolan, maka bersiaplah untuk dicaci habis-habisan.
(0.0)
Nangis, Teman Berkhianat
Gue berpikir, sepertinya kecupuan itu berbanding lurus dengan tingkat kecengengan gue sewaktu kecil. Hal tersebut tampak sejak gue masih di Taman Kanak-kanak. Dua tahun gue sekolah, selama itu pula ibu gue setia menunggu di pelataran TK, agar dapat gue lihat dari jendela kelas. Kalau ibu gue hilang dari pandangan, maka gue akan menangis. Padahal dia tidak ke mana-mana, hanya terhalang tembok.
Ketika masuk ke sekolah dasar, kebiasaan menangis ini masih saja melekat. Suatu hari, sekolah gue kedatangan murid baru dari Jakarta. Murid baru itu laki-laki. Namanya Aldi. Dia berambut poni, kulitnya putih, dan tubuhnya kurus. Dia juga pendek jika dibandingkan dengan teman-teman lain.
Aldi memasuki kelas, lalu memperkenalkan diri selayaknya murid baru. Ketika dia selesai bicara, guru mempersilakan duduk. Gue memperhatikan Aldi dari bangku barisan belakang bersama Ary, teman sebangku gue. Aldi berjalan pelan sambil pandangannya menyapu sekitar. Dia tampak kebingungan memilih tempat duduk. Mata gue belum lepas dari Aldi ketika Ary beranjak dari bangkunya. Ary berjalan menghampiri Aldi sambil membawa tas ranselnya. Kemudian Ary bilang, "Duduk sama aku aja, Di."
Aldi mengangguk polos. Mereka pun berjalan ke arah meja kosong. Sementara gue masih belum percaya itu terjadi. Hati ini mendadak sakit. Tanpa gue sadari, perlahan-lahan air mata mengalir. Gue buru-buru membenamkan wajah di atas meja dengan bantalan kedua tangan, lalu menangis terisak.
Cupu dan cengeng. Tampaknya kedua hal itu belum cukup menggambarkan diri gue saat kecil. Masih ada satu sifat lagi, yaitu penakut.
Seperti apa sifat penakut gue di masa kecil? Untuk menjawabnya, kamu hanya perlu diam, jangan beranjak ke mana pun. Bacalah tulisan ini sampai selesai. Karena setelah ini, gue akan menceritakan tentang masa kecil gue yang penuh ketakutan.
(0.0)
Daus Hilang!
Daus Hilang!
Senin pagi itu gue hilang.
Seisi rumah panik. Bapak Ibu gue mondar-mandir. Mereka mendatangi setiap sudut rumah sambil meneriakan nama gue. "DAUUUS! DAUS! NAK, KAMU DI MANA?"
Di antara kegelapan, gue bisa merasakan kekhawatiran orang tua gue. Langkah kaki mereka terdengar nyaring dan cepat. Terkadang suaranya dekat, terkadang jauh. Saat mereka mendekat, gue bisa mendengarkan deru napas mereka. Gue kasihan dengan mereka. Namun ketakutan ini lebih besar dari apapun.
Gue masih mendekap dalam kegelapan. Entah sudah berapa lama.
Sampai pada akhirnya cahaya perlahan masuk melalui sela-sela dinding dan pintu.
Sampai pada akhirnya cahaya perlahan masuk melalui sela-sela dinding dan pintu.
"Astaghfirullahaladzim... Daus kenapa, Nak?" tanya Ibu gue sesaat setelah ia menutup pintu. Itu adalah pintu penghubung dapur dan ruang tengah. Pintu itu selalu terbuka dan hanya sesekali ditutup. Pintu itu tidak terbuka penuh karena terhalang rak sepatu, sehingga menyisakan ruang untuk gue bersembunyi.
Gue keluar dari tempat persembunyian sambil sesenggukan. Raut wajah orang tua gue bingung. Mereka dengan halus menanyakan ada apa. Gue berusaha meredakan tangisan. Karena berbicara sambil menangis adalah hal sulit. Kalau pun bisa, pelafalannya pasti tidak jelas. Seperti orang gagu.
Namun orang tua gue terus mendesak. "Ada apa, Nak? Daus kenapa? Kenapa nangis?"
Gue masih sesenggukan.
Mereka menanyakan kembali, "Daus kenapa, Nak?"
Gue masih sesenggukan.
Mereka menanyakan kembali, "Daus kenapa, Nak?"
Akhirnya, gue paksakan untuk berbicara. "Uuuh.. Upha.. Cara.." ujar gue, persis seperti orang gagu.
"Upacara? Ada apa sama upacara?" Terpancar kebingungan yang lebih besar di wajah mereka.
Ketika tangisan gue benar-benar reda, barulah gue jelaskan sebab-musabab tragedi hilangnya gue pagi itu. Sebagaimana hari senin pada umumnya, senin itu akan diadakan upacara bendera di sekolah. Upacara bendera biasa. Namun yang membuat gue takut adalah, senin itu giliran gue menjadi pemimpin barisan kelas lima.
Pemimpin barisan doang! Dan gue ketakutan setengah mati.
Sampai sekarang gue belum paham apa yang ada dipikiran gue dulu. Padahal itu tahun 2000, Indonesia sudah merdeka. Hanya karena jadi pemimpin barisan upacara, gue tidak mungkin mati ditembak Belanda.
"Terus kenapa kok sampai sembunyi?" tanya ibu gue.
"Bi-biar nggak masuk seko-sekolah..." ujar gue, masih gagu.
Sampai sekarang gue belum paham apa yang ada dipikiran gue dulu. Padahal itu tahun 2000, Indonesia sudah merdeka. Hanya karena jadi pemimpin barisan upacara, gue tidak mungkin mati ditembak Belanda.
"Terus kenapa kok sampai sembunyi?" tanya ibu gue.
"Bi-biar nggak masuk seko-sekolah..." ujar gue, masih gagu.
(0.0)
Masa Kecil Tak Selamanya Suram
Masa Kecil Tak Selamanya Suram
Kalian masih ingat Ary?
Ya, dia teman sebangku gue yang sempat berkhianat itu. Ternyata sampai saat ini kami masih bersahabat. Beberapa waktu lalu, dia sempat berkunjung ke Malang, lalu mengajak gue makan bersama. Kami saling update cerita. Setelah berbincang sampai pukul sebelas malam, kami pulang.
Pertemuan gue dengan Ary itu mengingatkan gue pada sebuah kisah.
Tragedi pengkhianatan Ary yang memilih duduk bersama Aldi terjadi saat kelas 2 SD. Beberapa tahun kemudian, tepatnya kelas 4 SD, kami kembali duduk sebangku. Kami berdua duduk di barisan paling belakang dekat tembok. Ary duduk di sebelah kiri, sementara gue di sebelah kanan.
Suatu hari, guru wali kelas kami sedang mengajar. Beliau duduk di meja guru paling depan. Entah berbicara apa gue tidak tahu, karena saat itu gue sedang susah fokus. Sejak pagi tadi, perut gue mules. Namun masih bisa gue tahan.
Sampai pada akhirnya, gue merasa tidak kuat lagi. Perut gue mules luar biasa. Keringat dingin bercucuran. Sekujur tubuh gue tegang. Gue tidak mau buang air di wc sekolah karena kotor dan menyeramkan. Selain itu, gue juga takut izin ke guru untuk pulang. Gue tetap mencoba menahan sekuat tenaga.
Di tengah keheningan, tiba-tiba Ary membuka suara. "Us, kamu kentut, ya?" lirihnya sambil menutup hidung dengan tangan.
"Enggaaak!" kata gue, mencoba bohong. Padahal wajah gue kelihatan banget lagi menahan boker.
Mungkin saat itu Ary tidak percaya. Sehingga dia memutuskan untuk masuk ke kolong meja. Gue masih ingat bagaimana dia mengenduskan hidungnya. Gue juga ingat ekspresi wajahnya yang penasaran, lalu mendadak berubah jadi ekspresi mau muntah.
Ary buru-buru keluar dari kolong meja dan mengambil napas segar.
"Kamu kecepirit, Us?!" Suaranya lirih namun sedikit ditekan.
Dengan wajah memelas, gue mengangguk. Gue menaruh telunjuk di mulut, tanda untuk Ary agar diam saja. Tidak bilang siapa-siapa.
Beruntung. Sampai jam istirahat tiba, bau itu tidak menyebar ke mana-mana. Gue pun buru-buru pulang ke rumah untuk membersihkan segalanya. Kebetulan, pada hari itu gue tidak membawa sepeda. Lalu gue pinjam sepeda ke Rudi. Rudi mengiyakan.
Setelah selesai bersih-bersih, kemudian mengganti celana yang baru, gue kembali ke sekolah. Saat ingin menaiki sepeda Rudi, gue melihat jok sepeda Rudi tampak mencilang terkena cahaya. Padahal sebelumnya tidak. Jok sepeda Rudi tampak basah. Karena penasaran, gue pun mendekat, lalu membauinya.
Hmmm...
Gue buru-buru menyiram jok sepeda Rudi dengan selang air.
Setibanya di sekolah, gue memarkir sepeda Rudi di garasi. Sekali lagi gue memastikan kalau joknya sudah tidak bau. Baru kemudian gue masuk kelas. Begitu menginjakkan kaki di kelas, mendadak semua teman gue ramai. Mereka ribut bertanya, "Sudah lega, Us? Enak?"
Bajingan! Gue langsung menghampiri Ary yang sedang tertawa terbahak-bahak. Gue adalah tipe orang yang sulit marah. Akhirnya gue diam saja, menatap Ary dengan penuh kebencian.
Beberapa saat kemudian, Ary berhenti tertawa, dia menghampiri gue. "Kamu tahu nggak kenapa tadi aku ketawa?"
Gue diam saja. Dalam pikiran gue, alasannya mungkin karena semua anak kelas tahu gue boker di celana.
"Kamu tahu nggak, Us? Sewaktu kamu pulang tadi, aku panggil Zain. Aku cerita kalau kamu tadi boker di celana, dan sekarang lagi pulang. Tapi Zain nggak percaya. Padahal aku sudah bersumpah."
Ary menghentikan ceritanya. Gue masih diam, pura-pura merajuk. Padahal sebenarnya mendengarkan dan bertanya-tanya dalam hati apa kelanjutannya.
"'Ya sudah, kalau masih nggak percaya. Coba deh kamu cium bangkunya Daus,' kataku ke Zain. Awalnya dia ragu-ragu, Us. Tapi kusuruh lagi. Akhirnya Zain mau. Dari belakang, aku lihat Zain pelan-pelan menaruh hidungnya di bangkumu. Baru sebentar, dia bangkit lagi. Terus dia menoleh ke belakang. Wajahnya sudah kayak orang mau muntah. Hahahaha." Ary kembali tertawa terbahak-bahak.
Gue tidak bisa lagi berpura-pura marah. Tawa gue ikut lepas.
Ya, dia teman sebangku gue yang sempat berkhianat itu. Ternyata sampai saat ini kami masih bersahabat. Beberapa waktu lalu, dia sempat berkunjung ke Malang, lalu mengajak gue makan bersama. Kami saling update cerita. Setelah berbincang sampai pukul sebelas malam, kami pulang.
Pertemuan gue dengan Ary itu mengingatkan gue pada sebuah kisah.
![]() |
Ini adalah foto saat gue sudah keren, tidak cupu lagi. Gue sebelah kiri, tengah Irwan, kanan adalah Ary. |
Suatu hari, guru wali kelas kami sedang mengajar. Beliau duduk di meja guru paling depan. Entah berbicara apa gue tidak tahu, karena saat itu gue sedang susah fokus. Sejak pagi tadi, perut gue mules. Namun masih bisa gue tahan.
Sampai pada akhirnya, gue merasa tidak kuat lagi. Perut gue mules luar biasa. Keringat dingin bercucuran. Sekujur tubuh gue tegang. Gue tidak mau buang air di wc sekolah karena kotor dan menyeramkan. Selain itu, gue juga takut izin ke guru untuk pulang. Gue tetap mencoba menahan sekuat tenaga.
Di tengah keheningan, tiba-tiba Ary membuka suara. "Us, kamu kentut, ya?" lirihnya sambil menutup hidung dengan tangan.
"Enggaaak!" kata gue, mencoba bohong. Padahal wajah gue kelihatan banget lagi menahan boker.
Mungkin saat itu Ary tidak percaya. Sehingga dia memutuskan untuk masuk ke kolong meja. Gue masih ingat bagaimana dia mengenduskan hidungnya. Gue juga ingat ekspresi wajahnya yang penasaran, lalu mendadak berubah jadi ekspresi mau muntah.
Ary buru-buru keluar dari kolong meja dan mengambil napas segar.
"Kamu kecepirit, Us?!" Suaranya lirih namun sedikit ditekan.
Dengan wajah memelas, gue mengangguk. Gue menaruh telunjuk di mulut, tanda untuk Ary agar diam saja. Tidak bilang siapa-siapa.
Beruntung. Sampai jam istirahat tiba, bau itu tidak menyebar ke mana-mana. Gue pun buru-buru pulang ke rumah untuk membersihkan segalanya. Kebetulan, pada hari itu gue tidak membawa sepeda. Lalu gue pinjam sepeda ke Rudi. Rudi mengiyakan.
Setelah selesai bersih-bersih, kemudian mengganti celana yang baru, gue kembali ke sekolah. Saat ingin menaiki sepeda Rudi, gue melihat jok sepeda Rudi tampak mencilang terkena cahaya. Padahal sebelumnya tidak. Jok sepeda Rudi tampak basah. Karena penasaran, gue pun mendekat, lalu membauinya.
Hmmm...
Gue buru-buru menyiram jok sepeda Rudi dengan selang air.
Setibanya di sekolah, gue memarkir sepeda Rudi di garasi. Sekali lagi gue memastikan kalau joknya sudah tidak bau. Baru kemudian gue masuk kelas. Begitu menginjakkan kaki di kelas, mendadak semua teman gue ramai. Mereka ribut bertanya, "Sudah lega, Us? Enak?"
Bajingan! Gue langsung menghampiri Ary yang sedang tertawa terbahak-bahak. Gue adalah tipe orang yang sulit marah. Akhirnya gue diam saja, menatap Ary dengan penuh kebencian.
Beberapa saat kemudian, Ary berhenti tertawa, dia menghampiri gue. "Kamu tahu nggak kenapa tadi aku ketawa?"
Gue diam saja. Dalam pikiran gue, alasannya mungkin karena semua anak kelas tahu gue boker di celana.
"Kamu tahu nggak, Us? Sewaktu kamu pulang tadi, aku panggil Zain. Aku cerita kalau kamu tadi boker di celana, dan sekarang lagi pulang. Tapi Zain nggak percaya. Padahal aku sudah bersumpah."
Ary menghentikan ceritanya. Gue masih diam, pura-pura merajuk. Padahal sebenarnya mendengarkan dan bertanya-tanya dalam hati apa kelanjutannya.
"'Ya sudah, kalau masih nggak percaya. Coba deh kamu cium bangkunya Daus,' kataku ke Zain. Awalnya dia ragu-ragu, Us. Tapi kusuruh lagi. Akhirnya Zain mau. Dari belakang, aku lihat Zain pelan-pelan menaruh hidungnya di bangkumu. Baru sebentar, dia bangkit lagi. Terus dia menoleh ke belakang. Wajahnya sudah kayak orang mau muntah. Hahahaha." Ary kembali tertawa terbahak-bahak.
Gue tidak bisa lagi berpura-pura marah. Tawa gue ikut lepas.
hmm mas Daus ini cerita yang cepirit waktu SD di kelas itu ada kaitannya sama cerita pas di Lombok yg boker di selokan itu gak?
ReplyDeletemungkin kebiasaan masa kecil susah dilupain :D
Ngahaha :D
ReplyDeleteYa Allah demi kocak bangeet.
Gak nyangka bang daus segitu kicepnya waktu disuruh jadi pemimpin barisan :') Kalo gua waktu SD paling sering jadi protokol, tapi pernah juga jadi pemimpin upacara sama pemimpin barisan siih. :'')
Yang cepirit itu kook.. sungguh Zain anak yang malang. :'')
Cupu! Jadi petugas upacara aja sampe ngumpet! *lalu kabur bersama satpol PP*
ReplyDeleteSD lu cupu abis bang. Hahaaa paraaah :'D
ReplyDeleteItu nggak habis pikir kenapa sampai sembunyi segala cuma karena upacara. Bhahahaha ngakak gue. Mules.
#PrayforjoksepedaRudi
Jadi petugas upacara nangis segala hahaha payah! Bukan cupu atau penakut lagi itu mah :P
ReplyDeleteDitinggal di TK juga nangis aelah huuuuuuuuu~
*melipir sambil masih teriak huuuu*
Kelas 5 tahun 2000, berarti kalau masuk SD umur 6 tahun pas kelas 5 udah umur 10 tahun. Kalau tahun 2000 udah 10 tahun, berarti lo sekarang 26 tahun dong bang? Tua juga yak, btw kapan nikah? Hahaha #kaboor
ReplyDeleteHaha. Kamu terlalu berlebihan menganalisis, saudaraku.
DeleteYa, sih, aku yang salah. Maksudnya tahun 2000 itu, tahun 2000an. Lupa tepatnya 2000 berapa. :))
Anjaaaay, ngomongin masa kecil -_- aib banget itu sebenernya wkwkwk
ReplyDeleteKalau cupu, samaaaa Us wkwkw aku malah sampai SMP cupunya -_- rambut klimis, celana congklang wkwkwkwk
Hanjeeeeeer, ngumpet karena takut jadi pemimpin upacaaara wkwkwk :p wkwkwkw
:D ..... masa lalu adalah sejarah ... proses hidup
ReplyDeletepaling enak dan plong kalau kita bisa mentertawakannya ...
Eh iya ya.. jaman sekolah terkadang suka bikin ngakak dan malu sendiri. tak inget2 masa SD ku juga gak jauh2 dari yang namanya aib
ReplyDelete