Kisah (Tidak) Kasih Bersama Mia
Sebagian orang beranggapan bahwa kisah cinta selalu menarik untuk diceritakan. Seperti
lingkaran, kisah cinta tidak akan pernah ada ujungnya. Selalu saja ada hal yang dibahas.
Maka dari itu, izinkanlah kali ini
gue bercerita tentang hal yang tak berujung itu. Tentang cinta.
(0.0)
Saat itu gue berumur sebelas tahun,
masih kelas satu SMP, dan sudah berpacaran. Nama pacar gue Mia, siswa kelas
satu SMP juga. Kami satu sekolah, namun kelas kami berseberangan, terpisah oleh
lapangan basket.
Mia saat itu sudah berumur dua
belas atau tiga belas, gue lupa. Yang gue ingat pasti, dia pernah tidak naik
kelas beberapa kali. Dari wajahnya tidak ada yang menarik. Biasa saja. Kulitnya agak gelap, postur tubuhnya lebih pendek dibanding kekawanannya,
dan sedikit gempal. Bentuk rambutnya lurus dan kaku. Ketika gue tanya kenapa,
dia menjawab, “Keseringan direbonding.”
“Oh-oke.” Gue menelan ludah.
Hubungan gue dan Mia pada saat itu
cukup populer. Hampir seluruh warga sekolah tahu kami pacaran, termasuk para
guru. Hal tersebut disebabkan oleh kami sendiri yang ke mana-mana selalu
berdua.
Usia hubungan kami pun cukup lama
untuk ukuran anak SMP, yaitu delapan bulan. Namun, sebelum mencapai angka itu,
di umur yang ke enam bulan, kami mulai sering berkelahi. Faktor utama penyebab
perkelahian itu hanya satu: gue bosan. Sementara Mia, tampaknya semaki hari
semakin tergila-gila dengan gue. Sehingga setiap kali berkelahi, Mia selalu
mengakhirinya dengan nangis kejer, bahkan sering kali pingsan.
Dan sungguh, teman-teman, itu menyebalkan
sekali!
Saat itu gue masih belum paham
kenapa Mia sering pingsan. Padahal kami hanya cek-cok mulut, tidak berkelahi
benaran sampai memukul, menendang, menjambak, menombak, patahin leher, tidak. Kami
hanya berdebat. Namun belakangan gue sadar, perempuan kalau sudah
disakiti, apalagi oleh orang yang dia sayang, dia bisa saja pingsan karena tidak
kuat menanggung perih.
Berhubung saat itu gue belum
memahaminya, gue pun bersikap cuek. Bodo amat.
(0.0)
Di sisi kehidupan gue yang lain, gue
baru saja menemukan seorang teman baru. Dia laki-laki. Namanya Boy. Beberapa
minggu terakhir kami menjadi teman dekat. Kami memiliki banyak kesamaan, di
antaranya sama-sama anak basket, sama-sama suka Band Ungu, dan sama-sama punya muka kotak, begitu kata orang-orang. Tapi ada satu lagi kesamaan yang membuat
pertemanan kami sangat dekat, yaitu suka dengan cewek yang sama.
Nama cewek yang kami suka
adalah Khansa. Cewek dengan wajah oriental lengkap dengan mata sipit, hidung pesek, dan kulit
putih. Rambutnya lurus lembut, sangat bertolak belakang dengan Mia yang
rambutnya lebih mirip sapu ijuk. Khansa berbeda sekolah dengan gue, Mia, dan
Boy. Di sekolahnya, Khansa sangat populer dan dikagumi banyak cowok. Ada dua
hal yang membuat dia terkenal, yaitu pertama dia anak basket, kedua dia anak
pejabat. Tidak tanggung-tanggung, bapak Mia menduduki jabatan tertinggi di
provinsi saat itu.
Gue dan Boy punya cara
masing-masing dalam mendekati Khansa. Gue sendiri selalu mendekatinya dengan
cara klasik: SMS. Beruntung bagi gue karena Khansa selalu membalas SMS-SMS itu.
Sampai pada suatu hari, gue memberanikan diri untuk coba menelepon.
Ketika jarum panjang berada di
angka sepuluh malam, gue mulai menekan tombol hijau. Di ujung sana, terdengar
suara telepon tersambung. Setengah
menit... Satu menit... Tut. Tut. Tut. Nomor telepon yang Anda tuju tidak
menjawab.
Gue tidak patah semangat. Gue tekan
lagi tombol hijau. Handphone gue letakkan di telinga, lalu menunggu hingga satu
menit kemudian. Tetap tidak diangkat. Gue mengulang-ulang kegiatan itu sampai
puluhan kali. Hingga pukul sebelas lewat, telepon akhirnya diangkat.
“Hhaloo...” Dari ujung telepon terdengar suara berat perempuan.
“Oh, kamu lagi tidur, ya?” tanya
gue.
“Iyha... Ada apa kok, sampai misscalled tiga puluh kali?”
“Eh-enggak. Nggak apa-apa. Kamu
tidur aja. Maaf ganggu.”
“Heh?” katanya, heran.
Gue menutup teleponnya. Bengong
sebentar. Lima detik kemudian gue sadar, sepertinya gue baru saja melakukan hal
bodoh.
(0.0)
Meskipun sedang merebutkan hal yang
sama, gue dan Boy tetap sportif dan saling mendukung. Sebenarnya bisa saja Boy
memberitahu hal ini kepada Mia agar gue kalah dan berhenti mengejar Khansa.
Namun gue sangat yakin, Boy bukan tipe teman seperti itu.
Kekompakan gue dan Boy pun terbukti
di suatu hari, siang-siang, dalam sebuah mal. Kami sedang berjalan-jalan
berdua, mengobrol banyak hal, ini dan itu. Kaki kami melangkah acak,
mengelilingi mal. Tidak tahu ke mana. Lalu, tibalah kami di sudut mal lantai
tiga. Kami berhenti di sebuah photobox.
Sungguh! Tidak ada niatan sama sekali untuk foto berdua, karena pada saat itu,
kami sudah tahu homo itu apa. Dan kami tidak ingin dibilang homo.
Di photobox sana, kami hanya berdirian di luar, membuka satu per satu
halaman album foto yang dipajang. Kami mengolok-olok foto alay di sana.
Tertawa-tawa. Juga memuji-muji foto cewek cantik. Sampai pada saat Boy membalik
halaman terakhir, hap!
Ada jeda sejenak. Gue dan Boy
saling berpandangan. Lalu teriak-teriak.
Kami menemukan foto Khansa di sana.
Dia bersama teman-temannya. Kami berebutan album untuk saling menatap
lekat-lekat.
“Wuoooooh!” Ujar gue dalam hati. Mata gue berbinar-binar. Seperti
bajak laut yang baru menemukan harta karun.
Saat gue sedang takjub menatapi
foto itu, tiba-tiba Boy merebutnya. “Gue punya ide,” katanya. Kemudian dia
melihat sekeliling, memastikan tidak ada yang memperhatikan kami. Tangannya
lalu pelan-pelan merobek bungkus bening di halaman terakhir, lalu mengambil dua
foto yang ada wajah Khansa.
“Nih,” katanya sambil menyodorkan
satu foto.
Gue mengambil, lalu tersenyum
kegirangan. Kami pun berlarian, pergi meninggalkan photobox itu.
Malam harinya, gue tiduran di kamar
sambil menatap dompet yang terbuka. Dulu, di dompet itu ada foto gue
bersebelahan dengan Mia. Namun sejak sore tadi, di food court mal, foto Mia itu tertutupi oleh wajah yang lebih
cantik. Gue senyam-senyum sendirian.
(0.0)
Keesokan hari, gue sekolah seperti
biasa. Pergi ke kantin seperti biasa. Tetapi tidak dengan pulangnya. Hari itu,
ketika bel pulang sekolah berbunyi, tiba-tiba Mia datang ke kelas gue. Dia
mengajak pulang bareng.
Gue mengangguk canggung. Tumben.
Sepanjang jalan menuju
pemberhentian angkot, tidak ada sepatah kata pun keluar. Kaki kami melangkah
beriringan tapi tidak dengan hati ini. Hati gue sudah jauh melesat ke depan.
Gue membayangkan seseorang yang sedang berjalan di samping adalah Khansa. Pasti
rasanya lebih menyenangkan.
Lalu tiba-tiba Mia berbicara.
Memecah lamunan gue. “Aku liat dompetmu, dong!”
Deg! Jantung gue hampir mencuat. Gue kaget. Kaget setengah mampus!
Gue diam. Tetap melangkah ke depan.
Pura-pura tidak mendengar.
“Aku mau lihat dompetmu!” katanya
lagi.
Gue tetap diam, berusaha mencari
alasan yang bagus. Gue sempat terpikir untuk berteriak, ‘RAMPOOOOK! TOLONG, ADA
RAMPOOOK!’
Orang-orang pasti akan mengerubungi
kami, lalu memukuli Mia. Gue pun bisa kabur entah ke mana.
Tapi itu tidak gue lakukan. Kasian
Mia.
Semakin lama, Mia semakin mendesak.
Gue pasrah. Dengan tangan gemetaran, gue mengambil dompet dari saku belakang
celana, kemudian memberikannya.
Begitu Mia membuka dompet itu,
tangisannya langsung pecah. Teriakannya menyeruak. Posisi kami saat itu sedang
berdiri di trotoar jalan besar. Sehingga setiap orang yang lewat otomatis
menoleh ke sumber suara tangisan.
Sementara gue sendiri kebingunan,
tidak menyangka hal ini bakal terjadi. Lama-kelamaan orang semakin banyak yang
lihat, lalu memandangi gue dengan sinis. Gue jadi malu. Akhirnya gue mencoba
menenangkan Mia untuk sebentar menunda tangisnya. Pulang dulu. Kalau sudah sampai
rumah, terserah sudah mau nangis gaya apa saja.
Ketika gue tenangkan, tangisannya
justru semakin meledak. Gue semakin malas. Apaan
sih?! Entah bagaimana ekspresi wajah gue saat itu. Bingung bercampur kesal.
“Berenti dong nangisnya!” Gue
tinggikan suara. “Malu nih!”
Mia tetap saja menangis.
Kemudian, di jalanan, datang sebuah
angkot perlahan menghampiri kami. “Angkot dek?” ujar supir. Gue
menggeleng sehingga membuat angkot itu pergi lagi. Tanpa diduga, ternyata Mia
beranjak dari tempatnya, mengejar angkot itu sambil berteriak “Angkooot!”
Gue otomatis kaget. Harusnya gue
bersyukur Mia pergi sendiri, jadi gue bisa pulang tanpa diganggu suara tangisnya.
Namun yang membuat gue terpaksa mengejarnya ialah Mia membawa dompet gue.
Uuuurrghh!
Gue terpaksa mengikutinya, masuk ke
dalam angkot yang sama, dan ikhlas ditontoni seluruh penumpang karena di sebelah
gue, duduk seorang perempuan berseragam SMP lagi tersedu-sedu.
Sepanjang jalan gue hanya membuang
muka ke luar jendela. Di dalam otak gue terlintas sebuah pertanyaan sekaligus
jawabannya. Siapa sih yang kasih tahu Mia
soal ini? Ya, siapa lagi kalau bukan Boy.
Sesampainya di daerah komplek
rumah, kami berdua turun. Setelah membayar, gue pergi ke arah kanan. Harusnya
Mia pergi ke arah kiri. Tapi siang itu, Mia mengikuti gue, pergi ke arah kanan.
Uuuuurgh!
Mia membuntuti gue sepanjang jalan
sambil menangis. Gue berkali-kali menyuruhnya berhenti dan pulang ke rumah.
Tapi tampaknya, tangisan itu membuat Mia jadi tuli. Dia tidak mendengarkan sama
sekali.
Orang-orang yang sedang duduk di
teras rumah memperhatikan kami. Heran. Entah apa yang ada dipikiran mereka.
Melihat anak SMP laki-laki memarahi anak SMP perempuan sampai
menangis.
Kami berjalan hingga tikungan dekat
rumah. Tepat di sana, Mia berhenti mengikuti gue. Dia berputar arah. Baguslah.
Gue tiba di rumah dengan perasaan lega.
Malam hari, gue mendapat sebuah
telepon dari nomor asing. Ketika gue angkat, itu suara kakak perempuan Mia. Dia
bertanya apakah Mia bersama gue. Gue bilang enggak. “Kenapa, Kak?”
Kakak Mia jawab, “Mia belum pulang sampai sekarang."
Mampus.
Malam itu hati gue berkecamuk.
Antara harus kesal karena ulahnya yang menyebalkan, atau harus peduli karena
sebenarnya dia melakukan itu karena gue juga. Tapi kalau gue peduli maka hidup gue
akan selamanya terganggu. Suatu saat, dia akan mengulang hal itu lagi sambil
berharap gue akan peduli. Oleh karena itu, gue memutuskan untuk bodo amat.
Membiarkan dia melakukan apa saja yang dia mau, sampai dia capek sendiri.
Beberapa jam kemudian gue dapat
kabar, Mia ditemukan oleh ayahnya di pinggir jalan. Dia sedang berjalan
ke arah luar kota, masih dengan seragam sekolah. Astaga!
Tetapi syukurlah dia baik-baik
saja.
(0.0)
Semenjak kejadian itu, jarak gue
dan Mia semakin terbentang. Kami tidak pernah bertegur sapa lagi. Kami tidak
pernah bersama-sama lagi. Dan kami resmi putus meski tidak ada satu pun yang
mengatakannya. Juga tidak ada kata maaf, terima kasih, maupun selamat tinggal.
Namun gue yakin, sejahat-jahatnya
gue dulu, pasti Mia sudah memaafkannya. Wajar, karena dulu kami masih SMP. Umur
segitu bukan waktunya untuk berpacar-pacaran. Pikiran dan mental belum matang.
Kita hanya akan diribetkan dengan masalah-masalah gue tadi. Percayalah!
Oh iya, kabarnya, Mia sekarang
sudah berubah. Beberapa teman bilang kalau dia sekarang cantik. Katanya mirip
Barbie.
Gue hanya tersenyum. Cewek akan
selalu lebih cantik kalau sudah jadi mantan.
Njirrr.. masih anak ingusan aja udah playboy. Apalagi sekarang ya?
ReplyDeletePenjahat cinta bang! haha..
Kata2 terakhir tuh yang ngena, cewek bakalan lebih cantik klo udah jadi mantan.. wwkwkw
Ngahahah ya Allah. gua gak berhenti ngakak baca dari awal sampe abis.
ReplyDeleteAda-adaa aja bocah smp Ya Allah.
kelas satu SMP dulu gua lagi sibuk ngerapihin folio tugas basa Indonesia di map, abisan gurunya galak. :')
Kalo gua jadi lo, udah gua dorong ampe comberan si Mia, cengeng banget anjirr. Minta di sleding takel.
Duh jadi nyesel gak nih nyelingkuhin Mia? enggak lah yaa. biarpun sekarang cantik tapi kalo dikit-dikit nangis mah sama aja ngerepotin. :D
Bhahahahaaa yawloh, gue nggak bisa bayangin ada adegan sepasang anak SMP, yang si ceweknya nangis di trotoar, sampai naik angkot dan sampai turun angkot.
ReplyDeleteHahaaa. Masa SMP lu seru bang :D
Trus bang, lu sampai jadian sama Khansa nggak?
Anjaaay bang ngakak pas misscalled 30 x, wtwtwtwtwtwt niat amat lu bang ngejarnya hmm abang kelas satu SMP udah pacaran. ane waktu kelas satu SMP ngapain yak ? hmm oh kerjaan ane waktu itu masih maen kejar-kejaran, sambil ngisep ingus.
ReplyDeletenjir dah itu ampe nangis-nangis nekat nga pulang lagi, hayoloh bang seandainya mia nga ketemu selama 1 minggu. trus pas ditemuin udah nyempulng di sungai. Hayo gimana tuh perasaan abang ?
Cinta monyet... hahaha
ReplyDelete30x miscall.. gileee...
Mia kayanya udah benar - benar Faling in love tuh, wah tega banget ya kamu. Kamu yang bikin ini cerita. Hehe..
Untung aja Mia masih selamat dan ketemu dominic toreto ya? *Gak nyambung woyy !
Temen SMP aku juga nelfonin puluhan kali gitu. Selain itu, pas telfon diangkat bisa nyerocos sampe dua jam, nyari tau rumah aku, ditolak berkali-kali nelfonin terus. Serem dan bikin kesel.
ReplyDelete10 taun kemudian.... kita ketemu lagi.
1 taun selanjutnya... jadian
1 taun berikutnya, udahan.
Apakah aku terlihat lebih cantik dimata dia setelah jadi mantan? Huahahaha anjir jijik :(
Btw itu si Mia untung gak kenapa2 pake baju seragam hampir keluar kota, nyali dia tinggi amat *keprok*
Anjir itu serem sih sampe bikin anak orang mau kabur dari rumah. Gila juga lo us. ._.
ReplyDeleteOver progresif kalo nelpon 30 kali, mah...
ReplyDeleteSaya kelas 1 MTs masih hobi blusukan njerat burung sambil di leher menggantung indah sebuah ketapel rakitan sendiri.
Saya telat pacaran, jadijahatnya telat juga.
Iya, saya gemini, dan saya jahat...
Lho ini kok malah jadi gini...
What a great story...:)
Ini... maksudnya ovver protektif kan ya?
DeleteAtau over agresif?
DeleteKhansa ini seperti nya nyata ya hehe
ReplyDeleteBukan sepertinya lagi. Semuanya nyata, tapi cuman Khansa yang pakai nama asli.
Delete