Kotak Mesin Waktu
Kali ini gue menulis projek cerpen lagi bersama tiga blogger gokil, yakni Kresnoadi, Yoga Cahaya Putra, dan Ichsan Ramadhani. Kami sepakat menulis cerita pendek dengan setting tempat yang sama, yaitu lift.
Bagaimanakah kisahnya? Monggo disimak.
______________________________________________________________
Lift hampir penuh. Para penumpang berjubel di dalam kotak besi. Orang-orang
yang tadi berdiri di depan lift sudah pada masuk. Seseorang di dalam lift menekan tombol, membuat pintu besi dari kiri dan kanan
bergerak perlahan, saling mendekat.
Dari kejauhan, seorang laki-laki gemuk berlari tergopoh-gopoh.
Tangan kanannya menjinjing sebuah kotak besar berwarna kuning. Ia
berlari dengan susah payah. “Tunggu, tunggu!” teriaknya. Pintu lift hampir tertutup rapat. Namun seseorang
dari dalam menekan tombol lagi. Kedua pintu kembali berjauhan.
Laki-laki gemuk itu masuk ke dalam lift. Penumpang semakin berdesakan. Seorang pemuda bertubuh pendek terdorong mundur. Punggungnya
merapat ke dinding. Sementara mukanya bertemu dengan punggung lelaki tua. Praktis membuat hidung
pemuda itu berada sejajar dengan belahan ketiak lelaki tua. Wajah pemuda itu berubah
masam. Ia tidak bisa menghindar.
Pintu tertutup rapat. Aman, tidak ada bunyi tanda kelebihan beban.
Lift pun bergerak ke atas. Tiba di lantai dua, sebagian penumpang keluar.
Termasuk pemuda bertubuh
pendek tadi. Ia melangkah buru-buru bersama seorang temannya, menyempil di antara
kerumunan. Begitu sampai
di luar, ia terbatuk-batuk dan mau muntah. “Sialan! Ketiak bapak tadi aromanya kayak susu basi.”
Tiba di lantai tiga, sebagian penumpang keluar dan sebagian
lainnya bertahan. Lift
naik lagi. Di lantai lima, banyak penumpang yang keluar. Lift itu sekarang lengang. Laki-laki gemuk
menaruh kotak kuningnya di
sudut lift, kemudian menekan tombol. Pintu kembali tertutup. Lift hening. Yang
terdengar hanya suara decitan mesin. Laki-laki gemuk itu sibuk merapikan topi
dan rompi coklatnya yang lusuh.
Lalu, seseorang
dari belakang menepuk punggungnya. “Fajar!”
Laki-laki yang dipanggil Fajar itu melonjak kaget. “E, SETAN! SETAN! BIADAB KAU! ANJIR!” teriaknya. Kepalanya reflek
menoleh ke belakang, siap memarahi orang yang hampir membuatnya mati jantungan.
Tetapi saat menoleh, ia justru tersentak. Mendadak terdiam.
Fajar mengenali orang itu. Bahkan sangat mengenalinya.
/(0.0 )\
“Ngapain di kampus, Jar?” tanya Nanda.
Fajar masih canggung. “Ini.. Apa sih, namanya. Aduh.. Itu lho.. Katanya di lantai tujuh liftnya
rusak. Pintunya sering kebuka sendiri,” ujarnya terbata-bata.
Nanda mengangguk, mengetahui hal tersebut. Ia datang ke kampus dan menaiki
lift yang sama setiap harinya. Nanda pun menjelaskan kepada Fajar bahwa tiap
kali tiba di lantai tujuh, lift berhenti, lalu pintu terbuka dengan sendirinya.
Padahal sama sekali tidak ada yang menekan tombol. Baik dari dalam maupun luar.
Persis seperti yang diucapkan Nanda. Tiba di lantai tujuh, lift mendadak
berhenti dan pintunya terbuka.
“Horor ya? Hehe. Masalah biasa, sih. Biar nanti aku sama temanku yang
perbaiki.” Fajar tersenyum. “Kamu mau ke mana?”
“Lantai delapan. Mejaku di sana,” jawab Nanda.
Fajar mengangguk. Lift naik menuju lantai delapan. Suasana hening kembali. Lalu tiba-tiba, mereka
dikejutkan oleh suara decitan mesin yang nyaring. Lift terguncang. Lampu-lampu
di atas mati sejenak, kemudian menyala lagi. Fajar dan Nanda panik.
“AAAAAAAAK!!!” teriak seorang perempuan di dalam lift.
Fajar dan Nanda menoleh ke perempuan itu.
“MAMAAAH! TOLOOONG!!!” Perempuan itu berjalan ke arah pintu, lalu menggedornya. “BUKAIIIIN!”
Lift yang sedang mereka tumpangi itu mendadak berhenti. Diam. Tidak naik dan tidak turun. Terlintas
dipikiran Fajar kalau mereka telah terjebak. Nanda dan perempuan satu itu juga
memikirkan hal sama. Mendadak jantung mereka terasa hilang untuk sesaat, dan
kemudian muncul lagi dengan degup yang lebih kencang.
Siang itu langit cerah. Kampus swasta tersebut ramai seperti biasanya. Mahasiswa-mahasiswi
berseliweran. Mereka semua tidak menyadari bahwa lift berhenti bergerak, dan terdapat
tiga orang panik di dalamnya. Dua di antara mereka ternyata saling mengenal.
Dulu mereka pernah bersama lalu terpisah cukup lama. Dulu itu enam tahun yang
lalu. Dan kini mereka bertemu kembali.
\(^,^ )/
Jam menunjukkan pukul 13.07 WIB.
Sudah lima menit berlalu sejak lift berhenti. Perempuan itu masih menggedor-gedor
pintu besi sambil menangis. Berusaha membukanya namun tidak kuat. Sesekali ia meneriakkan
ibunya, meminta tolong.
Fajar dan Nanda mencoba menenangkan perempuan itu. “Sudah, dek. Sudah. Semakin banyak kamu gerak dan bernapas, udara di sini semakin tipis,”
jelas Nanda dengan sabar.
“Iya, dek, tenang. Aku ini teknisi lift. Tadi aku sudah tekan tombol
darurat. Semoga temanku di lantai sepuluh sadar dan segera memperbaiki
liftnya,” sambung Fajar.
Perempuan itu menghentikan tangisnya, lalu menoleh ke Fajar. “Mas teknisi
lift?”
Fajar mengangguk, tersenyum.
“KALAU BEGITU BURUAAAN! PERBAIKI LIFTNYA! AKU KEBURU MATI SESAK NAPAS DI
SINI!”
Fajar kaget. Senyum di wajahnya hilang, berganti geram. “LHA? AKU JUGA KEJEBAK, INI!”
“YA BAGUS DONG! BISA DIPERBAIKI DARI DALAM!”
“Perbaiki dari dalam, ndhasmu!
Kamu mau, hah, angkat badanku ke atas? Kuat? Yang ada punggungmu encok! Kena osteoporosis! ” Fajar marah-marah.
“Sudah, Jar,” kata Nanda, menenangkan. Ia memeluk
perempuan itu, membawanya ke sudut.
“Juga gak akan bisa kayang lagi!” lanjut Fajar, masih kesal.
“Ngapain juga aku kayang?” balas perempuan itu.
“Ya siapa tau, kamu ikut kontes kejuaraan kayang!”
“GAK MUNGKIN!”
Fajar mendengus. “Ya udah, sini. Angkat aku naik ke atas!” Ia menghampiri
perempuan itu. Namun Nanda menghalanginya. Fajar terus mendesak. Sampai
akhirnya Nanda berteriak, “FAJAR! CUKUP!”
Semuanya pun terdiam.
Perempuan yang dipeluk Nanda masih terisak. Ia menyandarkan kepalanya ke bahu Nanda.
Sambil membelai kepala perempuan
itu, Nanda
menanyakan apakah ia mahasiswi kampus
tersebut. Perempuan itu mengangguk. Nanda juga menanyakan nama dan jurusannya.
Perempuan itu bilang namanya Ade, jurusan akuntansi. Nanda mengangguk pelan. Ia mencoba menenangkan
Ade, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya ia juga takut.
“Aku bisa pinjam hapemu, Nan?” tanya Fajar. “Hapeku ketinggalan di atas.
Aku mau coba telepon ke sana, semoga temanku itu dengar.”
“Duh. Hapeku juga ketinggalan di kantor.”
Mendengar percakapan itu, Ade bangkit dan merogoh tas. Ia mengeluarkan handphone dan
memberikannya ke Fajar.
Fajar merebutnya tidak santai. Fajar menelepon handphone-nya sendiri. Satu menit, tidak ada jawaban. Ia coba lagi
beberapa kali, tetap tidak ada. Fajar memberikan handhphone itu ke Nanda. “Coba kamu telepon dosen, orang tata
usaha, atau siapapun yang sekiranya ada di kampus. Bilang kita terjebak di
lift. Terus, di lantai sepuluh ada teknisi lift, namanya Supar. Minta dia temuin Supar buat tolongin kita.”
Nanda melaksanakan perintah Fajar. Ia berbicara dengan seseorang di ujung
telepon, mengatakan persis seperti apa yang Fajar katakan. Nanda mengangguk
beberapa kali. Lalu, ia mengucapkan terima kasih. Telepon ditutup. “Tadi kepala administrasi langsung naik ke lantai sepuluh. Mereka usahakan
secepatnya lift diperbaiki. Kita disuruh bersabar, katanya.”
Kabar itu membuat mereka semua sedikit lega.
Lima menit kemudian, handphone Ade
berdering. Nanda buru-buru mengangkatnya. Ia tidak berbicara, tetapi langsung
menyerahkan handphone ke Fajar.
Dari ujung telepon, terdengar suara, “Halo. Fajar! Ini Supar.”
“Ya, kenapa, Par?”
“Kotak perkakas sama kamu ya?”
Fajar menoleh ke sebelah kanan. Tepat di sudut lift, ada sebuah kotak besar
berwarna kuning yang sejak tadi bersamanya. Fajar menepuk jidatnya. “Duh, iya
nih!”
“Ya sudah. Tunggu sebentar. Ini kusuruh orang kantor antar peralatan ke
sini. Kami coba perbaiki secepatnya,” ujar Supar dari kejauhan.
(- , -“ )
Mereka bertiga terduduk lemas. Udara di dalam lift mulai terasa pengap.
Napas pun sesak. Keringat mereka perlahan-lahan membasahi tubuh. Sudah hampir
satu jam mereka terjebak.
Ade terlelap. Posisinya masih sama seperti tadi, duduk dengan kepala
bersandar di bahu Nanda. Sedangkan Fajar duduk selonjoran menghadap pintu. Ia merasa keheningan ini membuat waktu
berjalan lamban.
“Aku gak nyangka,” Fajar
membunuh keheningan. “Setelah enam tahun, akhirnya kita ketemu lagi dengan cara
yang gak wajar ini.”
“Enam tahun? Wah, lama
juga ya?” Nanda tekekeh. Ia berbicara menghadap dinding.
Mereka pun mulai mengobrol. Membicarakan topik terbaru, lalu berpindah ke
topik lainnya. Mereka benar-benar
seperti dua orang yang sangat dekat dan lama tidak bertemu. Ada banyak hal yang
mereka bahas, mulai dari keluarga, pekerjaan, hingga pasangan.
“Hahaha,” Fajar
tergelak. “Gak ada, Nan. Terakhir itu ya kamu. Ya sempat sih, deketin beberapa cewek. Tapi gak ada yang
mau.” Fajar menyeka pipinya yang tidak basah air mata. “Ituuu. Siapa sih, nama pacarmu yang mukanya mirip kotak amal itu? Aku lupa. Masih sama dia?”
“Hahaha. Si Ucup? Udah gak lagi, Jar. Long distance never work out.”
Fajar mengangguk. Senyumnya menyimpul. Entah
mengapa kabar itu jadi sesuatu yang menggembirakan.
Lift kembali senyap. Nanda juga tampak tenggelam dalam lamunan. Tapi tidak
lama, ia membuka mulutnya lagi. “Kemarin aku abis nonton film,” ujar perempuan
berlesung pipi itu.
“Oh ya? Film apa?”
“Bukan masalah filmnya, sih.” Nanda tersenyum. “Kamu inget nggak? Dulu waktu kita sering nonton, sebelum film
mulai kan ada extras gitu. Menayangkan nama-nama production house-nya apa aja. Termasuk juga menayangan extras punya Dolby Digital, teknologi suara untuk film bioskop. Yang bunyi tagline-nya
tuh... All Around You~,” ujar Nanda
sambil berbisik.
Fajar menggeleng, tidak menangkap arah pembicaraan. “Terus?”
“Nah, kamu kan dulu suka ngikutin suara ‘All Around You’ itu sambil bisikin ke telingaku. Jadi, tiap kali
aku nonton dan lihat tayangan extras Dolby,
aku ngerasa kamu lagi bisikin kata-kata itu dari samping. All Around You~” Nanda tertawa.
“Hahaha. Masa sih? Bahkan saat kamu nonton kemarin?”
Nanda mengangguk sambil tertawa.
Satu lagi kabar yang membuat Fajar gembira. Siapa sangka? Perempuan yang ia
anggap sudah melupakannya, ternyata masih mengingatnya hingga hari kemarin. Dengan
cepat, kegembiraan itu menggantikan perasaan yang belakangan ini ia alami.
Dan topik All Around You tadi, tanpa
sengaja menjadi pembuka obrolan masa lalu mereka. Mereka mulai membuka kembali
kotak kenangan yang tersimpan rapi dan terkunci rapat. Mengeluarkan satu per satu potongan memori yang
berkesan. Lalu membawanya ke tengah-tengah mereka. Seakan-akan mereka sedang menyaksikan
tayangan ulang memori tersebut.
Mereka tenggelam dalam kenangan. Tertawa. Lalu diam sesaat, untuk sejenak
memilih kenangan mana lagi yang harus diputar. Fajar merasa kotak besi yang
sedang ia tumpangi itu, tidak lagi mengantarkannya ke lantai atas maupun bawah.
Kotak itu justru seperti mesin waktu. Membawanya melesat menembus ruang hampa.
Pergi ke tempat yang jauh disebut masa lalu. Untuk kemudian menemui Nanda versi
enam tahun yang lalu.
Tiba-tiba Fajar mendapati dirinya berada di atas motor. Pagi hari. Di
belakangnya, duduk Nanda sedang
memilin ujung jilbabnya. Fajar ingat, itu adalah hari di mana ia menyatakan
perasaannya. Selang lima detik, Nanda menepuk lalu mencengkram pundak kanan Fajar sambil
tersipu malu. Fajar juga ingat, itu adalah tanda bahwa Nanda menerima
perasaannya.
Cengkraman tersebut membuatnya meringis dan menutup mata. Ketika membuka
mata, Fajar sudah berada di sebuah taman bunga. Ia sedang berjalan pelan di
antara pepohonan. Fajar ingat, taman bunga itu adalah tempat favorit mereka berdua. Di sisi Fajar, Nanda sedang sibuk
memegangi kamera untuk selfie. Fajar
merebut kamera tersebut, lalu berlari menjauhi Nanda sambil tertawa-tawa. Tiba-tiba
Fajar terjatuh.
BRUK!
Ia terbangun. Kini ia berada di sebuah kamar rumah sakit, mendapati tubuhnya
sedang terbaring. Di tangan kanannya tersambung selang infus. Fajar ingat, itu
adalah hari di mana ia divonis radang lambung. Seluruh keluarga dan teman
dekatnya hadir menjenguk. Nanda juga. Nanda duduk di samping kasur, memegangi
tangan Fajar sambil berkata, “Cepat sembuh, ya.” Fajar meneteskan air mata. Lalu terpejam.
Ketika matanya
terbuka, Fajar berada di sebuah kafe. Di atas meja, ada secangkir kopi. Di
seberangnya, Nanda duduk dengan kepala tertunduk.
Mata Nanda bengkak dan merah. Saat itu, emosi Fajar meluap-luap. Raut wajahnya
menggambarkan amarah yang luar biasa. Fajar
menghentak meja. Nanda terperanjat kaget. Cangkir kopi di atas meja bergetar.
Nanda semakin menenggelamkan wajahnya. Fajar ingat sekali potongan gambar tersebut. Itu adalah hari
penyesalan terbesar di sepanjang hidupnya.
Penyesalan yang sampai hari ini masih bercokol dalam hatinya.
\(ToT )\~~
Handphone Ade berdering. Fajar
menerima panggilan itu dan mengaktifkan mode loudspeaker. Dari ujung telepon, Supar mengatakan bahwa sensor
pendeteksi kelebihan beban rusak. Dua minggu lebih, lift bekerja melebihi
kapasitas, dan hari itu adalah puncaknya. Namun kerusakan tidak terlalu parah.
Mereka bertiga diminta untuk menunggu kurang lebih satu jam lagi.
Mendengar suara berisik dari telepon membuat Ade terbangun. Ia menanyakan
ada apa. Berapa lama lagi mereka bisa keluar? Fajar buru-buru memutuskan
panggilan itu, lalu berbohong, “Lima belas menit lagi. Mungkin.”
Ade merenggangkan tubuhnya. Menggeliat sejenak. Ia mengangkat pantat kanannya
sedikit, lalu seketika terdengar suara, ‘BROOOTH.’
Fajar dan Nanda kaget. Mereka beringsut menuju sudut lift dengan cepat,
menjauhi Ade. Nanda menutup hidung dengan jilbabnya. Sementara Fajar menutup
hidung dengan topi sambil berteriak, “KAMU BEGO YA?!”
“Aduh, maaf, maaf. Gak sengaja. Keceplosan,”
ujar Ade dengan wajah memelas. Ia merangkak menghampiri Fajar dan Nanda.
“Jangan! Pergi gak? Sana! Bau. Hush hush!” teriak Fajar sambil menunjuk-nunjuk.
“Sumpah, Mas. Aku pikir gak bunyi,” ujar Ade.
“Walaupun gak bunyi tapi tetap bau!” teriak Fajar.
“Mana? Gak bau kok!” Ade mengendus-endus. “Eh, iya ya. Bau...” Tiba-tiba,
wajah Ade mengisyaratkan ingin muntah.
Fajar dan Nanda menjerit.
“HOOOOEK!” Ade muntah di lantai.
Fajar ikut mual. Nanda juga. Selain pengap, lift kini juga bau muntah.
__(-.-” )__
Jam menunjukkan pukul 16.25 WIB. Tiga jam lebih berlalu sejak lift itu
berhenti.
Tombol-tombol di
sebelah kanan pintu menyala kembali. Terdengar suara mesin yang bekerja. Lift mulai bergerak turun. Orang-orang banyak berkerumun di depan lift. Ketika tiba di lantai satu, pintu lift
terbuka. Bau muntah segera menyeruak. Kerumunan orang pada berteriak jijik.
Beberapa orang yang tidak tahan dengan baunya ikutan muntah. “HOOOEK!”
Fajar, Nanda, dan Ade keluar dari lift dengan keadaan berantakan. Muka pucat dan badan basah oleh keringat. Mereka
bertiga berjalan memencar. Fajar menghampiri Supar. Nanda
menghampiri Pak Kepala Administrasi. Sementara Ade, ia sudah menghilang di antara kerumunan.
Usai membicarakan masalah kerusakan lift bersama Supar, Fajar menoleh ke
arah kerumunan. Matanya bergerak-gerak mencari sosok Nanda. Ia ingin
mengucapkan sepatah dua patah kata, sebelum mereka berpisah lagi dalam waktu
yang lama. Ia ingin mengungkapkan penyesalan terbesarnya itu.
Namun, Fajar mendapati Nanda sudah pergi cukup jauh, berjalan menuju
tangga. Ia ingin mengejar, tetapi ragu-ragu. Mendadak ia terpikir, untuk apa
juga mengungkapkan penyesalan. Kejadian itu sudah terjadi enam tahun yang lalu.
Sudah lama sekali. Lagi pula Fajar yakin, Nanda sudah tidak mempermasalahkannya,
menganggap semua baik-baik saja. Dan lihat! Beberapa jam lalu, Nanda tampak
santai dan luwes berbicara kepadanya. Seakan tidak ada yang disembunyikan.
Tidak seperti dirinya.
Fajar pun mengurungkan niat. Ia tetap berdiri di tempatnya, memperhatikan
Nanda menaiki anak tangga. Membuat jarak di antara mereka kembali jauh, setelah
sebelumnya terasa dekat.
( T.T )/| |
Dua tahun kemudian, sebuah gedung di tengah-tengah kota sedang ramai. Beberapa mobil dan motor
terparkir di halaman. Orang-orang dengan pakaian rapi berjalan hilir mudik. Di gerbang masuk halaman, berdiri dua janur
kuning di kedua sisinya. Janur kuning itu melengkung ke arah jalanan. Seorang lelaki gemuk tiba di sana.
Lelaki gemuk itu masuk ke dalam gedung. Ia
berjalan lurus ke depan,
menuju panggung yang telah didekorasi sedemikian rupa sehingga tampak megah dan
indah. Ia menaiki panggung tersebut, lalu tersenyum kepada mempelai wanita. Mempelai wanita itu membalas senyumannya.
“Selamat ya, Nan,” Fajar menyalami Nanda. “Semoga jadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Doakan semoga
aku cepat menyusul. Hehe.”
Nanda ikut terkekeh seraya berucap, “Aamiin.”
"Selamat juga, Cup," Fajar juga menyalami Ucup, sang mempelai pria. Kemudian Fajar menuruni panggung. Ia turut
bahagia atas pernikahan cinta masa lalunya itu.
Penyesalan terbesar Fajar sebenarnya telah lama hilang. Setahun yang lalu,
Fajar menyadari bahwa ia harus belajar merelakan. Ia bersyukur, pernah jadi
orang yang berarti dalam hidup Nanda. Itu sudah lebih dari cukup. Tak perlu
menuntut apa-apa lagi. Karena sejatinya, hal terindah dalam proses mencintai
adalah cinta itu sendiri. Bukan bersikeras untuk memiliki. Justru terkadang
dengan memiliki, orang tidak bisa lagi merasakan indahnya cinta. Yang tersisa
hanyalah keegoisan.
Fajar pun mampu menerima kejadian di masa lalu. Dan, bagi siapa yang mampu
menerima maka ia juga mampu merelakan. Namun, Fajar tetap membiarkan rasa itu tinggal
dalam hatinya. Ia ingin tetap mencintai Nanda seperti itu, sebagaimana adanya.
Dan terus begitu, selama-lamanya.
Fajar melangkah keluar gedung. Sengaja tidak ingin berlama-lama di sana. Ia
berjalan menghampiri sebuah mobil sedan hitam. Mobil itu diparkir di depan gerbang.
Ia membuka pintunya, lalu duduk di kursi kemudi.
“Kok sebentar banget?” tanya Ade, yang duduk di kursi sebelahnya.
“Makanannya habis,” jawab Fajar, membuat Ade tertawa kecil.
“Yuk!” kata Fajar.
“Yuk apa?” Ade heran.
“Yuk, kita bikin acara kayak Nanda sama suaminya tadi.”
“Hahaha. Aaaa, bisa aja!” Ade memukul lengan Fajar. Mereka berdua tertawa
bahagia.
Ternyata, kotak besi dua tahun lalu itu tidak hanya membawa Fajar ke masa
lalu, melainkan juga mempertemukan Fajar pada seseorang dari masa depan.
TAMAT
______________________________________________________________
Baca juga:
- J. oleh Kresnoadi (http://www.keriba-keribo.com/2016/04/j.html)
- One Button: Push It, Face It oleh Yoga C. Putra (http://silumancapung.blogspot.co.id/2016/04/one-button-push-it-face-it.html)
- Kotak Kematian oleh Ichsan Ramadhani (http://www.ayamsakit.com/2016/04/kotak-kematian.html)
Waaaaaaaaa keren bang. Kotak mesin waktunya bener-bener bisa membuat Fajar dan Nanda memutar ulang kenangan mereka dan kotak mesin waktu itu, membuat Fajar berada di masa depannya. Bersama Ade.
ReplyDeleteBagus bang :))
Itu sumpah deh. Aku bayangin aroma kentut, aroma ketiak Fajar ditambah muntah Ade, semua aroma bersatu di dalam lift. Aku geli bayanginnya bang. Hahahahahaaaaa
Hahaha aroma lift itu dalam sekejap bisa membunuh satu ekor gajah dewasa
Deleteadegan awal lift kenapa selalu pasaran gitu ya? orang telat pengin masuk lift. SAMAAN KAMPRET! :)))
ReplyDeleteKalo fajar dan Ade nikah, punya anak, lalu mereka ceritain pengalaman pertama kali ketemu pasti epic: 'Dulu papa ketemu mama kamu pas kejebak di lift, dan dia kentut.' Epic.
Iya ya. Haduh kurang kreatif nih yang bikin cerpen. :'D
DeleteItu apaan si, lagi panik terjebak di lift malah ngomongin kayangg. -_-
ReplyDeletetapi keren banget cerpennya.
itu maunya si Fajar sama Ade yang Ya Allah, gajelas banget orangnya.
Iya. Si Fajar emang orangnya gitu. Kalau marah suka gak jelas. Cocok dah sama Ade.
DeleteMUAHAHAHAHA BARU MAU KOMEN YANG SAMA PERSIS KAYAK YOGA SOAL NYERITAIN PENGALAMAN PERTAMA KALI KETEMU. :))
ReplyDeleteKeren lah us. Kampret.
Makanya itu, yang bikin cerpen nggak kreatif niiih. Ah payah. :'D
DeleteAnjir. Pada nge twist semua gini endingnya. Gue tadi baca punya yoga baru baca ini. Pernah boby sama ade hampir sama nih disini. Cuman bedanya kalo boby itu bangsat nah kalo ade versi baiknya hahahaha.
ReplyDeleteTapi sama-sama ngeselin juga. Ya kan?
DeleteUwawaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa............
ReplyDeleteaku kira ini sekedar flash back belaka
Sempet baper di kalimat :
Kotak itu justru seperti mesin waktu. Membawanya melesat menembus ruang hampa. Pergi ke tempat yang jauh disebut masa lalu. Untuk kemudian menemui Nanda versi enam tahun yang lalu.
ahk,
Ternyata endingnya..
Suka banget sama ceritanya. sama setiap deskripsinya yang mampu membawa imajinasiku kemana mana *ceilah
Jangan baper-baper, Mbak. Repooot.
Deleteikut baca ENAK MAKNYOSSS,,coba settingan pasar rombeng gan .hehe
ReplyDeleteBoleh boleh. Pasar rombeng seru juga kayaknya. Nanti tokohnya kamu ya, Mas?
Deletehmm... menarik tulisannya maz
ReplyDeleteMaza zih Maz? Biaza aja deh kayaknya.
DeleteSatu kata buat cerpen ini: CADAS!
ReplyDeleteDiksi dan ceritanya bagus banget. Ngalir gitu aja. Gue suka ngiri kalo nemu tulisan kayak begini. :(
Gak boleh ngiri sama manusia. Aku bisa bikin tulisan begini juga atas izin Allah.
DeleteKalau sering naik lift sih waktu dulu deh mas waktu pas smk karena kan saya praktek kerjanya di kantor yang ada liftnya dan pengalaman pertama ke lif sendirian itu rasanya takut gimana gituh saya selalu merasa ada yang bisikin apa gituh susah banget ngejelasinnya.
ReplyDeleteWaahahaha. Kereeen, Kak! Kebayang banget sama aku... aroma muntahannya. HOEEEK. XD
ReplyDeleteAaaaaah, kirain Nanda bakal nikah sama Fajar. Eh, taunya jodoh sama mantan pacarnya. Lucu juga~ Jadi inget temen kostan aku yang kemarin baru nikah sama mantan pacarnya pas SMA. Hahaha. Jodoh enggak ada yang tau, ya. :))
Tulisannya bagus, eh ketikannya deng. Cerpennya ngalir gitu aja.
ReplyDeleteKenapa pas kejebak lift harus panik sih? Kan mereka bisa mesra-mesraan, atau gombal-gombalan.
Bapak kamu tukang benerin lift ya?
Kok tau?
YAUDAH SURUH BENERIN SEKARANG!! SESAK NAFAS GUE.
SAYANG KAMU GAK MAU KAN AKU MATI?
Jelas, gak mau dong sambil pegang kepala ala titanic *eh
Aduh so sweet.
artikelnya keren mas, saya jadi enak bacanya juga :)
ReplyDeleteHanjiiiiir dapet ide beginian dari mana sih wahai manusia kekinian ._. wkwkwk ngetwist kemana-mana :D CADAAAS :D project cerpen kalian berempat kayaknyaaa aduhai semua deh :D baru baca punyamu sama punya bang adi :D
ReplyDeleteBisa amat si Daus bikin saya baper. Alah ah. Tulisannya udah keren gini. Udah bisa nih berojolin buku. Biar gak kebelet terus di bio twitter. Halah. Kebiasaan saya baca bio orang. Selain itu saya juga kebiasaan niruin suara All Around You. Tapi bukan ke kuping pacar, ke kuping sendiri.
ReplyDeleteSekali lagi, tulisan kamu keren, Daus.
Itu bau kentut ditambah muntah, iyuh banget deh kayanya.
ReplyDeleteTernyata Nanda sama Ucup, seorang mantan pacar. Untung aja Fajar ada Ade, ya walaupun gua ga kebayang aja dari awal pertemuan aja udah ribut mulu. eh, endingnya beginiiii XD
Hay salam kenal. Cerita nya simple,meski sebenernya akhirnya udh kebayang sih hehe. Tapi Suka banget bacanya. Suka banget sama alur penulisannya.hehe btw semoga bisa blogwalking juga ke blok ku ya :)
ReplyDeleteDi paragraf terakhir mengajarkan bahwa cinta nggak harus memiliki *lalu melow*
ReplyDeletekeren keren! kirain fajar dan nanda bakalan bersatu kembalii... ternyataaa...
ReplyDeletenice lah pokoknya :D