Kotak Mesin Waktu

Kali ini gue menulis projek cerpen lagi bersama tiga blogger gokil, yakni Kresnoadi, Yoga Cahaya Putra, dan Ichsan Ramadhani. Kami sepakat menulis cerita pendek dengan setting tempat yang sama, yaitu lift.
Bagaimanakah kisahnya? Monggo disimak.
______________________________________________________________


Lift hampir penuh. Para penumpang berjubel di dalam kotak besi. Orang-orang yang tadi berdiri di depan lift sudah pada masuk. Seseorang di dalam lift menekan tombol, membuat pintu besi dari kiri dan kanan bergerak perlahan, saling mendekat.

Dari kejauhan, seorang laki-laki gemuk berlari tergopoh-gopoh. Tangan kanannya menjinjing sebuah kotak besar berwarna kuning. Ia berlari dengan susah payah. “Tunggu, tunggu!” teriaknya. Pintu lift hampir tertutup rapat. Namun seseorang dari dalam menekan tombol lagi. Kedua pintu kembali berjauhan.

Laki-laki gemuk itu masuk ke dalam lift. Penumpang semakin berdesakan. Seorang pemuda bertubuh pendek terdorong mundur. Punggungnya merapat ke dinding. Sementara mukanya bertemu dengan punggung lelaki tua. Praktis membuat hidung pemuda itu berada sejajar dengan belahan ketiak lelaki tua. Wajah pemuda itu berubah masam. Ia tidak bisa menghindar.

Pintu tertutup rapat. Aman, tidak ada bunyi tanda kelebihan beban. Lift pun bergerak ke atas. Tiba di lantai dua, sebagian penumpang keluar. Termasuk pemuda bertubuh pendek tadi. Ia melangkah buru-buru bersama seorang temannya, menyempil di antara kerumunan. Begitu sampai di luar, ia terbatuk-batuk dan mau muntah. “Sialan! Ketiak bapak tadi aromanya kayak susu basi.”

Tiba di lantai tiga, sebagian penumpang keluar dan sebagian lainnya bertahan. Lift naik lagi. Di lantai lima, banyak penumpang yang keluar. Lift itu sekarang lengang. Laki-laki gemuk menaruh kotak kuningnya di sudut lift, kemudian menekan tombol. Pintu kembali tertutup. Lift hening. Yang terdengar hanya suara decitan mesin. Laki-laki gemuk itu sibuk merapikan topi dan rompi coklatnya yang lusuh.

Lalu, seseorang dari belakang menepuk punggungnya. “Fajar!”

Laki-laki yang dipanggil Fajar itu melonjak kaget. “E, SETAN! SETAN! BIADAB KAU! ANJIR!” teriaknya. Kepalanya reflek menoleh ke belakang, siap memarahi orang yang hampir membuatnya mati jantungan. Tetapi saat menoleh, ia justru tersentak. Mendadak terdiam.

Fajar mengenali orang itu. Bahkan sangat mengenalinya.

/(0.0  )\

“Ngapain di kampus, Jar?” tanya Nanda.

Fajar masih canggung. “Ini.. Apa sih, namanya. Aduh.. Itu lho.. Katanya di lantai tujuh liftnya rusak. Pintunya sering kebuka sendiri,” ujarnya terbata-bata.

Nanda mengangguk, mengetahui hal tersebut. Ia datang ke kampus dan menaiki lift yang sama setiap harinya. Nanda pun menjelaskan kepada Fajar bahwa tiap kali tiba di lantai tujuh, lift berhenti, lalu pintu terbuka dengan sendirinya. Padahal sama sekali tidak ada yang menekan tombol. Baik dari dalam maupun luar.

Persis seperti yang diucapkan Nanda. Tiba di lantai tujuh, lift mendadak berhenti dan pintunya terbuka.

“Horor ya? Hehe. Masalah biasa, sih. Biar nanti aku sama temanku yang perbaiki.” Fajar tersenyum. “Kamu mau ke mana?”

“Lantai delapan. Mejaku di sana, jawab Nanda.

Fajar mengangguk. Lift naik menuju lantai delapan. Suasana hening kembali. Lalu tiba-tiba, mereka dikejutkan oleh suara decitan mesin yang nyaring. Lift terguncang. Lampu-lampu di atas mati sejenak, kemudian menyala lagi. Fajar dan Nanda panik.

“AAAAAAAAK!!!” teriak seorang perempuan di dalam lift.

Fajar dan Nanda menoleh ke perempuan itu.

“MAMAAAH! TOLOOONG!!!” Perempuan itu berjalan ke arah pintu, lalu menggedornya. “BUKAIIIIN!”

Lift yang sedang mereka tumpangi itu mendadak berhenti. Diam. Tidak naik dan tidak turun. Terlintas dipikiran Fajar kalau mereka telah terjebak. Nanda dan perempuan satu itu juga memikirkan hal sama. Mendadak jantung mereka terasa hilang untuk sesaat, dan kemudian muncul lagi dengan degup yang lebih kencang.

Siang itu langit cerah. Kampus swasta tersebut ramai seperti biasanya. Mahasiswa-mahasiswi berseliweran. Mereka semua tidak menyadari bahwa lift berhenti bergerak, dan terdapat tiga orang panik di dalamnya. Dua di antara mereka ternyata saling mengenal. Dulu mereka pernah bersama lalu terpisah cukup lama. Dulu itu enam tahun yang lalu. Dan kini mereka bertemu kembali.

\(^,^  )/

Jam menunjukkan pukul 13.07 WIB.

Sudah lima menit berlalu sejak lift berhenti. Perempuan itu masih menggedor-gedor pintu besi sambil menangis. Berusaha membukanya namun tidak kuat. Sesekali ia meneriakkan ibunya, meminta tolong.

Fajar dan Nanda mencoba menenangkan perempuan itu. “Sudah, dek. Sudah. Semakin banyak kamu gerak dan bernapas, udara di sini semakin tipis,” jelas Nanda dengan sabar.

“Iya, dek, tenang. Aku ini teknisi lift. Tadi aku sudah tekan tombol darurat. Semoga temanku di lantai sepuluh sadar dan segera memperbaiki liftnya,” sambung Fajar.

Perempuan itu menghentikan tangisnya, lalu menoleh ke Fajar. “Mas teknisi lift?”

Fajar mengangguk, tersenyum.

“KALAU BEGITU BURUAAAN! PERBAIKI LIFTNYA! AKU KEBURU MATI SESAK NAPAS DI SINI!”

Fajar kaget. Senyum di wajahnya hilang, berganti geram. “LHA? AKU JUGA KEJEBAK, INI!”

“YA BAGUS DONG! BISA DIPERBAIKI DARI DALAM!”

“Perbaiki dari dalam, ndhasmu! Kamu mau, hah, angkat badanku ke atas? Kuat? Yang ada punggungmu encok! Kena osteoporosis! ” Fajar marah-marah.

“Sudah, Jar,” kata Nanda, menenangkan. Ia memeluk perempuan itu, membawanya ke sudut.

“Juga gak akan bisa kayang lagi!” lanjut Fajar, masih kesal.

“Ngapain juga aku kayang?” balas perempuan itu.

“Ya siapa tau, kamu ikut kontes kejuaraan kayang!”

“GAK MUNGKIN!”

Fajar mendengus. “Ya udah, sini. Angkat aku naik ke atas!” Ia menghampiri perempuan itu. Namun Nanda menghalanginya. Fajar terus mendesak. Sampai akhirnya Nanda berteriak, “FAJAR! CUKUP!”

Semuanya pun terdiam.

Perempuan yang dipeluk Nanda masih terisak. Ia menyandarkan kepalanya ke bahu Nanda. Sambil membelai kepala perempuan itu, Nanda menanyakan apakah ia mahasiswi kampus tersebut. Perempuan itu mengangguk. Nanda juga menanyakan nama dan jurusannya. Perempuan itu bilang namanya Ade, jurusan akuntansi. Nanda mengangguk pelan. Ia mencoba menenangkan Ade, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya ia juga takut.

“Aku bisa pinjam hapemu, Nan?” tanya Fajar. “Hapeku ketinggalan di atas. Aku mau coba telepon ke sana, semoga temanku itu dengar.”

“Duh. Hapeku juga ketinggalan di kantor.”

Mendengar percakapan itu, Ade bangkit dan merogoh tas. Ia mengeluarkan handphone dan memberikannya ke Fajar.

Fajar merebutnya tidak santai. Fajar menelepon handphone-nya sendiri. Satu menit, tidak ada jawaban. Ia coba lagi beberapa kali, tetap tidak ada. Fajar memberikan handhphone itu ke Nanda. “Coba kamu telepon dosen, orang tata usaha, atau siapapun yang sekiranya ada di kampus. Bilang kita terjebak di lift. Terus, di lantai sepuluh ada teknisi lift, namanya Supar. Minta dia temuin Supar buat tolongin kita.”

Nanda melaksanakan perintah Fajar. Ia berbicara dengan seseorang di ujung telepon, mengatakan persis seperti apa yang Fajar katakan. Nanda mengangguk beberapa kali. Lalu, ia mengucapkan terima kasih. Telepon ditutup. “Tadi kepala administrasi langsung naik ke lantai sepuluh. Mereka usahakan secepatnya lift diperbaiki. Kita disuruh bersabar, katanya.”

Kabar itu membuat mereka semua sedikit lega.

Lima menit kemudian, handphone Ade berdering. Nanda buru-buru mengangkatnya. Ia tidak berbicara, tetapi langsung menyerahkan handphone ke Fajar.

Dari ujung telepon, terdengar suara, “Halo. Fajar! Ini Supar.”

“Ya, kenapa, Par?”

“Kotak perkakas sama kamu ya?”

Fajar menoleh ke sebelah kanan. Tepat di sudut lift, ada sebuah kotak besar berwarna kuning yang sejak tadi bersamanya. Fajar menepuk jidatnya. “Duh, iya nih!”

“Ya sudah. Tunggu sebentar. Ini kusuruh orang kantor antar peralatan ke sini. Kami coba perbaiki secepatnya,” ujar Supar dari kejauhan.

(- , -“ )

Mereka bertiga terduduk lemas. Udara di dalam lift mulai terasa pengap. Napas pun sesak. Keringat mereka perlahan-lahan membasahi tubuh. Sudah hampir satu jam mereka terjebak.

Ade terlelap. Posisinya masih sama seperti tadi, duduk dengan kepala bersandar di bahu Nanda. Sedangkan Fajar duduk selonjoran menghadap pintu. Ia merasa keheningan ini membuat waktu berjalan lamban.

“Aku gak nyangka,” Fajar membunuh keheningan. Setelah enam tahun, akhirnya kita ketemu lagi dengan cara yang gak wajar ini.

 “Enam tahun? Wah, lama juga ya?” Nanda tekekeh. Ia berbicara menghadap dinding.

Mereka pun mulai mengobrol. Membicarakan topik terbaru, lalu berpindah ke topik lainnya. Mereka benar-benar seperti dua orang yang sangat dekat dan lama tidak bertemu. Ada banyak hal yang mereka bahas, mulai dari keluarga, pekerjaan, hingga pasangan.

Hahaha,” Fajar tergelak. “Gak ada, Nan. Terakhir itu ya kamu. Ya sempat sih, deketin beberapa cewek. Tapi gak ada yang mau.” Fajar menyeka pipinya yang tidak basah air mata. “Ituuu. Siapa sih, nama pacarmu yang mukanya mirip kotak amal itu? Aku lupa. Masih sama dia?

Hahaha. Si Ucup? Udah gak lagi, Jar. Long distance never work out.”

Fajar mengangguk. Senyumnya menyimpul. Entah mengapa kabar itu jadi sesuatu yang menggembirakan.

Lift kembali senyap. Nanda juga tampak tenggelam dalam lamunan. Tapi tidak lama, ia membuka mulutnya lagi. “Kemarin aku abis nonton film,” ujar perempuan berlesung pipi itu.

“Oh ya? Film apa?”

“Bukan masalah filmnya, sih.” Nanda tersenyum. “Kamu inget nggak? Dulu waktu kita sering nonton, sebelum film mulai kan ada extras gitu. Menayangkan nama-nama production house-nya apa aja. Termasuk juga menayangan extras punya Dolby Digital, teknologi suara untuk film bioskop. Yang bunyi tagline-nya tuh... All Around You~, ujar Nanda sambil berbisik.

Fajar menggeleng, tidak menangkap arah pembicaraan. “Terus?”

“Nah, kamu kan dulu suka ngikutin suara ‘All Around You’ itu sambil bisikin ke telingaku. Jadi, tiap kali aku nonton dan lihat tayangan extras Dolby, aku ngerasa kamu lagi bisikin kata-kata itu dari samping. All Around You~” Nanda tertawa.

“Hahaha. Masa sih? Bahkan saat kamu nonton kemarin?”

Nanda mengangguk sambil tertawa.

Satu lagi kabar yang membuat Fajar gembira. Siapa sangka? Perempuan yang ia anggap sudah melupakannya, ternyata masih mengingatnya hingga hari kemarin. Dengan cepat, kegembiraan itu menggantikan perasaan yang belakangan ini ia alami.

Dan topik All Around You tadi, tanpa sengaja menjadi pembuka obrolan masa lalu mereka. Mereka mulai membuka kembali kotak kenangan yang tersimpan rapi dan terkunci rapat. Mengeluarkan satu per satu potongan memori yang berkesan. Lalu membawanya ke tengah-tengah mereka. Seakan-akan mereka sedang menyaksikan tayangan ulang memori tersebut.

Mereka tenggelam dalam kenangan. Tertawa. Lalu diam sesaat, untuk sejenak memilih kenangan mana lagi yang harus diputar. Fajar merasa kotak besi yang sedang ia tumpangi itu, tidak lagi mengantarkannya ke lantai atas maupun bawah. Kotak itu justru seperti mesin waktu. Membawanya melesat menembus ruang hampa. Pergi ke tempat yang jauh disebut masa lalu. Untuk kemudian menemui Nanda versi enam tahun yang lalu.

Tiba-tiba Fajar mendapati dirinya berada di atas motor. Pagi hari. Di belakangnya, duduk Nanda sedang memilin ujung jilbabnya. Fajar ingat, itu adalah hari di mana ia menyatakan perasaannya. Selang lima detik, Nanda menepuk lalu mencengkram pundak kanan Fajar sambil tersipu malu. Fajar juga ingat, itu adalah tanda bahwa Nanda menerima perasaannya.

Cengkraman tersebut membuatnya meringis dan menutup mata. Ketika membuka mata, Fajar sudah berada di sebuah taman bunga. Ia sedang berjalan pelan di antara pepohonan. Fajar ingat, taman bunga itu adalah tempat favorit mereka berdua. Di sisi Fajar, Nanda sedang sibuk memegangi kamera untuk selfie. Fajar merebut kamera tersebut, lalu berlari menjauhi Nanda sambil tertawa-tawa. Tiba-tiba Fajar terjatuh.

BRUK!

Ia terbangun. Kini ia berada di sebuah kamar rumah sakit, mendapati tubuhnya sedang terbaring. Di tangan kanannya tersambung selang infus. Fajar ingat, itu adalah hari di mana ia divonis radang lambung. Seluruh keluarga dan teman dekatnya hadir menjenguk. Nanda juga. Nanda duduk di samping kasur, memegangi tangan Fajar sambil berkata, “Cepat sembuh, ya.” Fajar meneteskan air mata. Lalu terpejam.

Ketika matanya terbuka, Fajar berada di sebuah kafe. Di atas meja, ada secangkir kopi. Di seberangnya, Nanda duduk dengan kepala tertunduk. Mata Nanda bengkak dan merah. Saat itu, emosi Fajar meluap-luap. Raut wajahnya menggambarkan amarah yang luar biasa. Fajar menghentak meja. Nanda terperanjat kaget. Cangkir kopi di atas meja bergetar. Nanda semakin menenggelamkan wajahnya. Fajar ingat sekali potongan gambar tersebut. Itu adalah hari penyesalan terbesar di sepanjang hidupnya.

Penyesalan yang sampai hari ini masih bercokol dalam hatinya.

\(ToT  )\~~

Handphone Ade berdering. Fajar menerima panggilan itu dan mengaktifkan mode loudspeaker. Dari ujung telepon, Supar mengatakan bahwa sensor pendeteksi kelebihan beban rusak. Dua minggu lebih, lift bekerja melebihi kapasitas, dan hari itu adalah puncaknya. Namun kerusakan tidak terlalu parah. Mereka bertiga diminta untuk menunggu kurang lebih satu jam lagi.

Mendengar suara berisik dari telepon membuat Ade terbangun. Ia menanyakan ada apa. Berapa lama lagi mereka bisa keluar? Fajar buru-buru memutuskan panggilan itu, lalu berbohong, “Lima belas menit lagi. Mungkin.

Ade merenggangkan tubuhnya. Menggeliat sejenak. Ia mengangkat pantat kanannya sedikit, lalu seketika terdengar suara, ‘BROOOTH.’

Fajar dan Nanda kaget. Mereka beringsut menuju sudut lift dengan cepat, menjauhi Ade. Nanda menutup hidung dengan jilbabnya. Sementara Fajar menutup hidung dengan topi sambil berteriak, “KAMU BEGO YA?!”

“Aduh, maaf, maaf. Gak sengaja. Keceplosan,” ujar Ade dengan wajah memelas. Ia merangkak menghampiri Fajar dan Nanda.

“Jangan! Pergi gak? Sana! Bau. Hush hush!” teriak Fajar sambil menunjuk-nunjuk.

“Sumpah, Mas. Aku pikir gak bunyi,” ujar Ade.

“Walaupun gak bunyi tapi tetap bau!” teriak Fajar.

“Mana? Gak bau kok!” Ade mengendus-endus. “Eh, iya ya. Bau...” Tiba-tiba, wajah Ade mengisyaratkan ingin muntah.

Fajar dan Nanda menjerit.

“HOOOOEK!” Ade muntah di lantai.

Fajar ikut mual. Nanda juga. Selain pengap, lift kini juga bau muntah.

__(-.-”  )__

Jam menunjukkan pukul 16.25 WIB. Tiga jam lebih berlalu sejak lift itu berhenti.

Tombol-tombol di sebelah kanan pintu menyala kembali. Terdengar suara mesin yang bekerja. Lift mulai bergerak turun. Orang-orang banyak berkerumun di depan lift. Ketika tiba di lantai satu, pintu lift terbuka. Bau muntah segera menyeruak. Kerumunan orang pada berteriak jijik. Beberapa orang yang tidak tahan dengan baunya ikutan muntah. “HOOOEK!”
           
Fajar, Nanda, dan Ade keluar dari lift dengan keadaan berantakan. Muka pucat dan badan basah oleh keringat. Mereka bertiga berjalan memencar. Fajar menghampiri Supar. Nanda menghampiri Pak Kepala Administrasi. Sementara Ade, ia sudah menghilang di antara kerumunan.
           
Usai membicarakan masalah kerusakan lift bersama Supar, Fajar menoleh ke arah kerumunan. Matanya bergerak-gerak mencari sosok Nanda. Ia ingin mengucapkan sepatah dua patah kata, sebelum mereka berpisah lagi dalam waktu yang lama. Ia ingin mengungkapkan penyesalan terbesarnya itu.

Namun, Fajar mendapati Nanda sudah pergi cukup jauh, berjalan menuju tangga. Ia ingin mengejar, tetapi ragu-ragu. Mendadak ia terpikir, untuk apa juga mengungkapkan penyesalan. Kejadian itu sudah terjadi enam tahun yang lalu. Sudah lama sekali. Lagi pula Fajar yakin, Nanda sudah tidak mempermasalahkannya, menganggap semua baik-baik saja. Dan lihat! Beberapa jam lalu, Nanda tampak santai dan luwes berbicara kepadanya. Seakan tidak ada yang disembunyikan. Tidak seperti dirinya.

Fajar pun mengurungkan niat. Ia tetap berdiri di tempatnya, memperhatikan Nanda menaiki anak tangga. Membuat jarak di antara mereka kembali jauh, setelah sebelumnya terasa dekat.

(   T.T )/|    |

Dua tahun kemudian, sebuah gedung di tengah-tengah kota sedang ramai. Beberapa mobil dan motor terparkir di halaman. Orang-orang dengan pakaian rapi berjalan hilir mudik. Di gerbang  masuk halaman, berdiri dua janur kuning di kedua sisinya. Janur kuning itu melengkung ke arah jalanan. Seorang lelaki gemuk tiba di sana.

Lelaki gemuk itu masuk ke dalam gedung. Ia berjalan lurus ke depan, menuju panggung yang telah didekorasi sedemikian rupa sehingga tampak megah dan indah. Ia menaiki panggung tersebut, lalu tersenyum kepada mempelai wanita. Mempelai wanita itu membalas senyumannya.

“Selamat ya, Nan,” Fajar menyalami Nanda. “Semoga jadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Doakan semoga aku cepat menyusul. Hehe.”

Nanda ikut terkekeh seraya berucap, “Aamiin.”

"Selamat juga, Cup," Fajar juga menyalami Ucup, sang mempelai pria. Kemudian Fajar menuruni panggung. Ia turut bahagia atas pernikahan cinta masa lalunya itu.

Penyesalan terbesar Fajar sebenarnya telah lama hilang. Setahun yang lalu, Fajar menyadari bahwa ia harus belajar merelakan. Ia bersyukur, pernah jadi orang yang berarti dalam hidup Nanda. Itu sudah lebih dari cukup. Tak perlu menuntut apa-apa lagi. Karena sejatinya, hal terindah dalam proses mencintai adalah cinta itu sendiri. Bukan bersikeras untuk memiliki. Justru terkadang dengan memiliki, orang tidak bisa lagi merasakan indahnya cinta. Yang tersisa hanyalah keegoisan.

Fajar pun mampu menerima kejadian di masa lalu. Dan, bagi siapa yang mampu menerima maka ia juga mampu merelakan. Namun, Fajar tetap membiarkan rasa itu tinggal dalam hatinya. Ia ingin tetap mencintai Nanda seperti itu, sebagaimana adanya. Dan terus begitu, selama-lamanya.

Fajar melangkah keluar gedung. Sengaja tidak ingin berlama-lama di sana. Ia berjalan menghampiri sebuah mobil sedan hitam. Mobil itu diparkir di depan gerbang. Ia membuka pintunya, lalu duduk di kursi kemudi.

“Kok sebentar banget?” tanya Ade, yang duduk di kursi sebelahnya.

“Makanannya habis,” jawab Fajar, membuat Ade tertawa kecil.

“Yuk!” kata Fajar.

“Yuk apa?” Ade heran.

“Yuk, kita bikin acara kayak Nanda sama suaminya tadi.”

“Hahaha. Aaaa, bisa aja!” Ade memukul lengan Fajar. Mereka berdua tertawa bahagia.

Ternyata, kotak besi dua tahun lalu itu tidak hanya membawa Fajar ke masa lalu, melainkan juga mempertemukan Fajar pada seseorang dari masa depan.

TAMAT
______________________________________________________________

Baca juga:

28 comments:

  1. Waaaaaaaaa keren bang. Kotak mesin waktunya bener-bener bisa membuat Fajar dan Nanda memutar ulang kenangan mereka dan kotak mesin waktu itu, membuat Fajar berada di masa depannya. Bersama Ade.

    Bagus bang :))

    Itu sumpah deh. Aku bayangin aroma kentut, aroma ketiak Fajar ditambah muntah Ade, semua aroma bersatu di dalam lift. Aku geli bayanginnya bang. Hahahahahaaaaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha aroma lift itu dalam sekejap bisa membunuh satu ekor gajah dewasa

      Delete
  2. adegan awal lift kenapa selalu pasaran gitu ya? orang telat pengin masuk lift. SAMAAN KAMPRET! :)))

    Kalo fajar dan Ade nikah, punya anak, lalu mereka ceritain pengalaman pertama kali ketemu pasti epic: 'Dulu papa ketemu mama kamu pas kejebak di lift, dan dia kentut.' Epic.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya ya. Haduh kurang kreatif nih yang bikin cerpen. :'D

      Delete
  3. Itu apaan si, lagi panik terjebak di lift malah ngomongin kayangg. -_-
    tapi keren banget cerpennya.
    itu maunya si Fajar sama Ade yang Ya Allah, gajelas banget orangnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya. Si Fajar emang orangnya gitu. Kalau marah suka gak jelas. Cocok dah sama Ade.

      Delete
  4. MUAHAHAHAHA BARU MAU KOMEN YANG SAMA PERSIS KAYAK YOGA SOAL NYERITAIN PENGALAMAN PERTAMA KALI KETEMU. :))

    Keren lah us. Kampret.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makanya itu, yang bikin cerpen nggak kreatif niiih. Ah payah. :'D

      Delete
  5. Anjir. Pada nge twist semua gini endingnya. Gue tadi baca punya yoga baru baca ini. Pernah boby sama ade hampir sama nih disini. Cuman bedanya kalo boby itu bangsat nah kalo ade versi baiknya hahahaha.

    ReplyDelete
  6. Uwawaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa............
    aku kira ini sekedar flash back belaka

    Sempet baper di kalimat :

    Kotak itu justru seperti mesin waktu. Membawanya melesat menembus ruang hampa. Pergi ke tempat yang jauh disebut masa lalu. Untuk kemudian menemui Nanda versi enam tahun yang lalu.

    ahk,
    Ternyata endingnya..
    Suka banget sama ceritanya. sama setiap deskripsinya yang mampu membawa imajinasiku kemana mana *ceilah

    ReplyDelete
  7. ikut baca ENAK MAKNYOSSS,,coba settingan pasar rombeng gan .hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Boleh boleh. Pasar rombeng seru juga kayaknya. Nanti tokohnya kamu ya, Mas?

      Delete
  8. Satu kata buat cerpen ini: CADAS!

    Diksi dan ceritanya bagus banget. Ngalir gitu aja. Gue suka ngiri kalo nemu tulisan kayak begini. :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gak boleh ngiri sama manusia. Aku bisa bikin tulisan begini juga atas izin Allah.

      Delete
  9. Kalau sering naik lift sih waktu dulu deh mas waktu pas smk karena kan saya praktek kerjanya di kantor yang ada liftnya dan pengalaman pertama ke lif sendirian itu rasanya takut gimana gituh saya selalu merasa ada yang bisikin apa gituh susah banget ngejelasinnya.

    ReplyDelete
  10. Waahahaha. Kereeen, Kak! Kebayang banget sama aku... aroma muntahannya. HOEEEK. XD

    Aaaaaah, kirain Nanda bakal nikah sama Fajar. Eh, taunya jodoh sama mantan pacarnya. Lucu juga~ Jadi inget temen kostan aku yang kemarin baru nikah sama mantan pacarnya pas SMA. Hahaha. Jodoh enggak ada yang tau, ya. :))

    ReplyDelete
  11. Tulisannya bagus, eh ketikannya deng. Cerpennya ngalir gitu aja.
    Kenapa pas kejebak lift harus panik sih? Kan mereka bisa mesra-mesraan, atau gombal-gombalan.
    Bapak kamu tukang benerin lift ya?
    Kok tau?
    YAUDAH SURUH BENERIN SEKARANG!! SESAK NAFAS GUE.
    SAYANG KAMU GAK MAU KAN AKU MATI?
    Jelas, gak mau dong sambil pegang kepala ala titanic *eh
    Aduh so sweet.

    ReplyDelete
  12. artikelnya keren mas, saya jadi enak bacanya juga :)

    ReplyDelete
  13. Hanjiiiiir dapet ide beginian dari mana sih wahai manusia kekinian ._. wkwkwk ngetwist kemana-mana :D CADAAAS :D project cerpen kalian berempat kayaknyaaa aduhai semua deh :D baru baca punyamu sama punya bang adi :D

    ReplyDelete
  14. Bisa amat si Daus bikin saya baper. Alah ah. Tulisannya udah keren gini. Udah bisa nih berojolin buku. Biar gak kebelet terus di bio twitter. Halah. Kebiasaan saya baca bio orang. Selain itu saya juga kebiasaan niruin suara All Around You. Tapi bukan ke kuping pacar, ke kuping sendiri.

    Sekali lagi, tulisan kamu keren, Daus.

    ReplyDelete
  15. Itu bau kentut ditambah muntah, iyuh banget deh kayanya.

    Ternyata Nanda sama Ucup, seorang mantan pacar. Untung aja Fajar ada Ade, ya walaupun gua ga kebayang aja dari awal pertemuan aja udah ribut mulu. eh, endingnya beginiiii XD

    ReplyDelete
  16. Hay salam kenal. Cerita nya simple,meski sebenernya akhirnya udh kebayang sih hehe. Tapi Suka banget bacanya. Suka banget sama alur penulisannya.hehe btw semoga bisa blogwalking juga ke blok ku ya :)

    ReplyDelete
  17. Di paragraf terakhir mengajarkan bahwa cinta nggak harus memiliki *lalu melow*

    ReplyDelete
  18. keren keren! kirain fajar dan nanda bakalan bersatu kembalii... ternyataaa...
    nice lah pokoknya :D

    ReplyDelete

Powered by Blogger.