Anak Kecil Ngomong Kasar, Salah Siapa?
Sebelum dimulai, mungkin kita perlu melihat tiga video ini terlebih dulu.
BOOM— hatihati di internet (@hati2diInternet) June 2, 2016
GANTENG GANTENG SWAG
BOOM pic.twitter.com/34T1YGxHei
Heartbreaking Beatbox #brrrcikepehh pic.twitter.com/Cr9MkhIC6r— hatihati di internet (@hati2diInternet) June 24, 2016
Yosafat. Youtuber sekaligus jagoan. Menanggapi komen dari haters pic.twitter.com/YAIuWyWNsI— hatihati di internet (@hati2diInternet) June 9, 2016
Anak-anak, menurut gue pribadi,
adalah makhluk yang netral. Bisa dianalogikan mereka seperti gelas kaca yang belum
terisi. Gelas kaca, kalau kita isi susu maka akan tampak putih dari luar.
Sementara kalau kita isi Coca-Cola maka akan tampak hitam dari luar. Begitu
pula anak-anak. Perilaku mereka yang tampak dalam keseharian adalah representasi
dari orang-orang yang mereka tiru. Karena cara pembelajaran anak-anak masih
satu, yaitu modelling. Mereka akan
menerima, menyerap, lalu meniru apa-apa saja yang mereka lihat/dengar. Namun
sayangnya, di satu sisi, mereka juga belum bisa menentukan mana yang baik dan yang
buruk. Mana yang harus dan tidak harus dicontoh.
Itulah jawaban yang menurut gue bisa menjelaskan mengapa anak-anak dalam video di atas berlaku demikian.
Berdasarkan pengamatan gue,
terdapat dua kubu yang terlibat dalam soal ini. Kubu pertama adalah kubu yang “merasa
dirugikan”. Beranggotakan orang terdekat anak yang perilakunya kurang
lebih sama seperti anak di video. Kubu kedua adalah kubu yang “merasa tidak
merugikan siapapun”. Beranggotakan para kreator yang memiliki obsesi membuat
karya.
Kubu pertama, mereka protes atas
apa yang telah dibuat oleh kubu kedua. Mereka menyalahkan kubu kedua karena
telah, atau mungkin berpotensi, membuat anak-anak berperilaku yang tidak
baik. Sementara, kubu kedua tidak terima kalau mereka disalahkan. Itu
bukan urusan mereka. Justru yang harus disalahkan adalah orang tua, kenapa
membiarkan anak-anaknya meniru para kreator.
Begitulah kira-kira ringkasnya perseteruan antara kubu pertama dan kedua. Bagaimana menurut kalian? Siapa yang salah dan siapa
yang benar?
Menurut gue, mereka sama-sama
benar. Benar dalam menyalahkan. Kedua kubu sama-sama punya andil dalam
pembentukan perilaku anak yang tidak baik. Dan mereka
punya porsi kesalahan masing-masing. Mari kita amati apa yang salah dari kubu
pertama. Mereka menyalahkan karya yang dibuat oleh kubu kedua. Pertanyaannya
adalah, lalu apa tugas mereka sebagai
orang terdekat anak? Bukankah mereka punya hak, punya kekuatan, untuk
mengarahkan anak ke jalan yang lebih baik? Kalau memang konten itu tidak boleh sampai
kepada anak, lalu mengapa para orang tua memberikan akses menuju ke sana?
Kemudian untuk kubu kedua yang
tidak ingin disalahkan. Apa yang salah dari mereka? Sederhana. Mereka
memberikan contoh. Padahal, seperti yang telah dijelaskan, cara
pembelajaran anak adalah dengan modelling,
meniru, atau menyontoh. Kubu kedua boleh bilang itu adalah hak asasi mereka membuat konten seperti apa. Manusia
bebas berekspresi. Betul. Namun pertanyaannya, bukankah manusia yang cerdas
adalah manusia yang pintar menggunakan hak dan kebebasannya?
Ya, gue akui. Gue juga orang yang memiliki obsesi untuk berkarya. Medianya adalah
blog ini. Dan tidak semua tulisan di blog ini baik. Tapi ayolah, kita semua
punya kontrol atas diri masing-masing, kan?
Sementara untuk para orang tua (dan
calon orang tua), gue hanya ingin mengingatkan bahwa jangan malas. Jangan malas
untuk mendidik anak. Kebanyakan orang tua sekarang lebih memercayakan
pendidikan anak kepada sekolah, internet, dan lain sebagainya, sehingga mereka
bisa fokus pada pekerjaan atau sekedar bersantai di rumah. Ingat, tidak semua
sekolah mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan anak. “Tuhan itu siapa sih?”, “Aku
ini asalnya dari mana ya?”. Jawaban untuk pertanyaan sejenis itu seringkali tidak
dibahas di sekolah. Bahkan, banyak sekolah yang hanya memberikan ilmu
pengetahuan saja tanpa dibarengi pendidikan moral. Itu sangat berbahaya. Apalagi
internet. Kita semua sudah dewasa. Sudah tahu apa saja isi di internet. Yakin
mau memercayakan anak untuk mengakses internet tanpa pengawasan dan batasan?
Mungkin tulisan ini tidak memiliki pengaruh yang besar. Tapi, semoga tetap bisa bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Sedangkan untuk kedua kubu tadi, gue berharap, semoga sama-sama bisa meluangkan waktu untuk introspeksi diri. Menanyakan, seberapa benar kah sudah perbuatan yang kita anggap “benar” itu?
Gue juga punya obsesi besar dalam berkarya. Karena fenomena sekarang, jadi lebih hati-hati lagi. Internet ngasih wadah yang besar dan peluangnya terbuka lebar. ya, balik lagi sih, seperti akun Twitter favorit gue sekarang, hati-hati di internet.
ReplyDeleteUs lagi skripsian us?
ReplyDelete*kabur ke Pantura*
DeleteEng... miris juga sih sebenernya. Di dunia yang sudah serba maju dan berteknologi ini, sebenernya tinggal manusia-manusia yang membatasi mau gimana dan gimananya. Tapi sayangnya, nggak semua bisa membatasi.
ReplyDeleteAku setuju juga sih us sama pendapatmu, dua pihak yang kamu sebut itu emang salah. Yang satu, nggak bisa ngawasi dan mungkin malah memberi jalan buat mengakses. Yang satunya lagi memberi contoh yang mungkin kurang baik. Tapi... Aaah, ini berat sih ._. mbledhos mengko utekku bahas beginian ._.
Us, keren deh. Kamu kayak Kak Seto pas bahas soal anak. Kadang kayak Tika Bisono juga. Ya, peka gitu sama fenomena sekitar. Kayak cewek. Padahal kan cowok itu nggak peka kalau kata cewek. Huehehehe. *ditampol Daus*
ReplyDeleteDan aku setuju sama yang kamu tulis soal kubu pertama dan kedua itu. Lalu keingat sama karya sendiri di blog yang sama sekali nggak ada faedahnya dan bisa jadi merusak anak-anak kalau mereka nyasar ke blogku. Huhuhu. :(
Tuh cha, makanya kontenmu tuh.. Konten mu tuh. Konteenmuu tuh~
Deleteini latar belakang skripsi, us?
ReplyDeletesalam BRRCIKEPEHH...
aqoh takut ngasih pendidikan moral sama siswa di sekolah. Entar masuk penjara :v
ReplyDeleteSetuju mas, yg kamu tulis udah yg paling bener menurutku. Harus saling introspeksi, cuma kalau seandainya harus bener2 ada yg disalahin. Para kreator yg salah disini.
ReplyDeleteBukan gimana-gimana, cuma, coba bayangin kita jd ortu. Kita udah kontrol anak kita sedemikian rupa, tp itu kreator terus aja berkarya ngasal seenak udelnya. Katakanlah situs A kita blokir eh malah muncul situs B, C, sama D. Usaha perlindungan kita ga dpt rispek dr itu kreator.
Wiiih... ini keren! Serius...
ReplyDeleteBicara soal the relationship of parents-children sungguh sebenarnya berat sekali karena kebetulan aku juga sedang riset tentang anak-orang tua.
Termasuk apa yang kamu bicarakan itu benar tapi itu masih sebagian kecil topik dari keseluruhan topik 'the relationship of parents-children'.
Anak yang menonton tidak salah, hal ini karena berawal dari dia sering berada di dalam situasi 'ada orang menonton' (atau semacamnya) dan dia jadi ikut-ikutan, lalu menjadi sebuah 'candu' alias kebiasaan. Andai dari awal tidak ada yang membawa anak ke sana atau anak tidak pernah berada di situasi tersebut, tentu tidak akan terjadi
Kreator juga tidak bermaksud membawa anak-anak menonton jika target dia adalah 'orang dewasa' bukan anak-anak, maka kreator tidak salah.
Namun, lepas dari itu semua. Dua kubumu juga bisa dibenarkan.
Karena:
Mengambil topik orang tua, anak, dan internet.
Orang tua pasti mengalami dilema karena internet dari sisi positifnya 'jendela dunia' tapi dari sisi negatifnya 'gempa dunia'.
Banyak orang tua 'sibuk kerja' tapi berusaha 'melihat' anaknya, namun itu tidak bisa dilakukan 24/7. Finally, tentu saja orang tua butuh bantuan dari sang anak. Tapi seperti yang kamu katakan, anak belum tahu manakah yang benar/salah.
Oleh karena itu, semuanya perlu 'pembiasaan diri pada anak sejak dini'.
Maksudnya di sini, orang tua membutuhkan bantuan sang anak untuk tidak melewati batas pada pemakaian internet. Caranya? Orang tua perlu melakukan pembiasaan diri pada anak sejak awal.
Jika hal ini diterapkan, pasti anak juga memahami dan terbiasa. Semoga.
Untuk keseluruhan artikel kamu. Aku suka. Keren. Ditunggu artikel2 selanjutnya ya, maaf jika ada yang salah-salah.
Anyway, jika berminat, main-main ke blogku ya.
Daus mau S2 ya? Tesis nya tentang ini Us?
ReplyDeleteJadi mulai mikir tulisan gue di blog klo di baca anak kecil gimana ya
ReplyDeleteSemoga tetep bisa menghibur sekaligus mendidik. :)
"revisi bagian latar belakang kamu, menurut saya itu bukan latar belakang, tapi opini dari satu sudut pandang yang tidak fleksible"
ReplyDelete-Dosen pembimbing daus, tua, Menuju duda
Aku termasuk kubu pertama, aku kecewa sih sama yutubers yang gak mau disalahkan. Mungkin nih, mereka berpikiran kayak gitu karena belum punya anak, jadi ya cukup egois untuk memanfaatkan hak dan kebebasannya.
ReplyDeleteAku juga punya adek masih kecil soalnya yang suka banget nonton video, tapi aku selalu bilang,
"Fi, kamu nonton Reza Oktovian ga?" (karena dia suka yutuber gamers)
"Engga kok."
"Oh yaudah, jangan ditonton ya." (I'm sorry to say)
Dan gak bosen ingetin adek buat, "Jangan yg banyak ngomong jeleknya lho ya."
Bener sih, jangan malas mendidik. Di sekolahin belum tentu cukuuuup.
Salah siapa yah, entahlah..
ReplyDeleteTapi nanti kalo gue udah punya anak..gue wanti-wanti jangan sampe jadi manusia yang begitu. Serem euy... yang malu kan orang tuanya. Nanti endingnya malah kayak ortu murid yang nonjok guru itu lagi.. hyiii..