Anak Kecil Ngomong Kasar, Salah Siapa?


Sebelum dimulai, mungkin kita perlu melihat tiga video ini terlebih dulu. 




Anak-anak, menurut gue pribadi, adalah makhluk yang netral. Bisa dianalogikan mereka seperti gelas kaca yang belum terisi. Gelas kaca, kalau kita isi susu maka akan tampak putih dari luar. Sementara kalau kita isi Coca-Cola maka akan tampak hitam dari luar. Begitu pula anak-anak. Perilaku mereka yang tampak dalam keseharian adalah representasi dari orang-orang yang mereka tiru. Karena cara pembelajaran anak-anak masih satu, yaitu modelling. Mereka akan menerima, menyerap, lalu meniru apa-apa saja yang mereka lihat/dengar. Namun sayangnya, di satu sisi, mereka juga belum bisa menentukan mana yang baik dan yang buruk. Mana yang harus dan tidak harus dicontoh.

Itulah jawaban yang menurut gue bisa menjelaskan mengapa anak-anak dalam video di atas berlaku demikian.

Berdasarkan pengamatan gue, terdapat dua kubu yang terlibat dalam soal ini. Kubu pertama adalah kubu yang “merasa dirugikan”. Beranggotakan orang terdekat anak yang perilakunya kurang lebih sama seperti anak di video. Kubu kedua adalah kubu yang “merasa tidak merugikan siapapun”. Beranggotakan para kreator yang memiliki obsesi membuat karya.

Kubu pertama, mereka protes atas apa yang telah dibuat oleh kubu kedua. Mereka menyalahkan kubu kedua karena telah, atau mungkin berpotensi, membuat anak-anak berperilaku yang tidak baik. Sementara, kubu kedua tidak terima kalau mereka disalahkan. Itu bukan urusan mereka. Justru yang harus disalahkan adalah orang tua, kenapa membiarkan anak-anaknya meniru para kreator.

Begitulah kira-kira ringkasnya perseteruan antara kubu pertama dan kedua. Bagaimana menurut kalian? Siapa yang salah dan siapa yang benar?

Menurut gue, mereka sama-sama benar. Benar dalam menyalahkan. Kedua kubu sama-sama punya andil dalam pembentukan perilaku anak yang tidak baik. Dan mereka punya porsi kesalahan masing-masing. Mari kita amati apa yang salah dari kubu pertama. Mereka menyalahkan karya yang dibuat oleh kubu kedua. Pertanyaannya adalah, lalu apa tugas mereka sebagai orang terdekat anak? Bukankah mereka punya hak, punya kekuatan, untuk mengarahkan anak ke jalan yang lebih baik? Kalau memang konten itu tidak boleh sampai kepada anak, lalu mengapa para orang tua memberikan akses menuju ke sana?

Kemudian untuk kubu kedua yang tidak ingin disalahkan. Apa yang salah dari mereka? Sederhana. Mereka memberikan contoh. Padahal, seperti yang telah dijelaskan, cara pembelajaran anak adalah dengan modelling, meniru, atau menyontoh. Kubu kedua boleh bilang itu adalah hak asasi mereka membuat konten seperti apa. Manusia bebas berekspresi. Betul. Namun pertanyaannya, bukankah manusia yang cerdas adalah manusia yang pintar menggunakan hak dan kebebasannya?

Ya, gue akui. Gue juga orang yang memiliki obsesi untuk berkarya. Medianya adalah blog ini. Dan tidak semua tulisan di blog ini baik. Tapi ayolah, kita semua punya kontrol atas diri masing-masing, kan?

Sementara untuk para orang tua (dan calon orang tua), gue hanya ingin mengingatkan bahwa jangan malas. Jangan malas untuk mendidik anak. Kebanyakan orang tua sekarang lebih memercayakan pendidikan anak kepada sekolah, internet, dan lain sebagainya, sehingga mereka bisa fokus pada pekerjaan atau sekedar bersantai di rumah. Ingat, tidak semua sekolah mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan anak. “Tuhan itu siapa sih?”, “Aku ini asalnya dari mana ya?”. Jawaban untuk pertanyaan sejenis itu seringkali tidak dibahas di sekolah. Bahkan, banyak sekolah yang hanya memberikan ilmu pengetahuan saja tanpa dibarengi pendidikan moral. Itu sangat berbahaya. Apalagi internet. Kita semua sudah dewasa. Sudah tahu apa saja isi di internet. Yakin mau memercayakan anak untuk mengakses internet tanpa pengawasan dan batasan?

Mungkin tulisan ini tidak memiliki pengaruh yang besar. Tapi, semoga tetap bisa bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Sedangkan untuk kedua kubu tadi, gue berharap, semoga sama-sama bisa meluangkan waktu untuk introspeksi diri. Menanyakan, seberapa benar kah sudah perbuatan yang kita anggap “benar” itu?

15 comments:

  1. Gue juga punya obsesi besar dalam berkarya. Karena fenomena sekarang, jadi lebih hati-hati lagi. Internet ngasih wadah yang besar dan peluangnya terbuka lebar. ya, balik lagi sih, seperti akun Twitter favorit gue sekarang, hati-hati di internet.

    ReplyDelete
  2. Eng... miris juga sih sebenernya. Di dunia yang sudah serba maju dan berteknologi ini, sebenernya tinggal manusia-manusia yang membatasi mau gimana dan gimananya. Tapi sayangnya, nggak semua bisa membatasi.

    Aku setuju juga sih us sama pendapatmu, dua pihak yang kamu sebut itu emang salah. Yang satu, nggak bisa ngawasi dan mungkin malah memberi jalan buat mengakses. Yang satunya lagi memberi contoh yang mungkin kurang baik. Tapi... Aaah, ini berat sih ._. mbledhos mengko utekku bahas beginian ._.

    ReplyDelete
  3. Us, keren deh. Kamu kayak Kak Seto pas bahas soal anak. Kadang kayak Tika Bisono juga. Ya, peka gitu sama fenomena sekitar. Kayak cewek. Padahal kan cowok itu nggak peka kalau kata cewek. Huehehehe. *ditampol Daus*

    Dan aku setuju sama yang kamu tulis soal kubu pertama dan kedua itu. Lalu keingat sama karya sendiri di blog yang sama sekali nggak ada faedahnya dan bisa jadi merusak anak-anak kalau mereka nyasar ke blogku. Huhuhu. :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tuh cha, makanya kontenmu tuh.. Konten mu tuh. Konteenmuu tuh~

      Delete
  4. ini latar belakang skripsi, us?

    salam BRRCIKEPEHH...

    ReplyDelete
  5. aqoh takut ngasih pendidikan moral sama siswa di sekolah. Entar masuk penjara :v

    ReplyDelete
  6. Setuju mas, yg kamu tulis udah yg paling bener menurutku. Harus saling introspeksi, cuma kalau seandainya harus bener2 ada yg disalahin. Para kreator yg salah disini.

    Bukan gimana-gimana, cuma, coba bayangin kita jd ortu. Kita udah kontrol anak kita sedemikian rupa, tp itu kreator terus aja berkarya ngasal seenak udelnya. Katakanlah situs A kita blokir eh malah muncul situs B, C, sama D. Usaha perlindungan kita ga dpt rispek dr itu kreator.

    ReplyDelete
  7. Wiiih... ini keren! Serius...

    Bicara soal the relationship of parents-children sungguh sebenarnya berat sekali karena kebetulan aku juga sedang riset tentang anak-orang tua.
    Termasuk apa yang kamu bicarakan itu benar tapi itu masih sebagian kecil topik dari keseluruhan topik 'the relationship of parents-children'.

    Anak yang menonton tidak salah, hal ini karena berawal dari dia sering berada di dalam situasi 'ada orang menonton' (atau semacamnya) dan dia jadi ikut-ikutan, lalu menjadi sebuah 'candu' alias kebiasaan. Andai dari awal tidak ada yang membawa anak ke sana atau anak tidak pernah berada di situasi tersebut, tentu tidak akan terjadi

    Kreator juga tidak bermaksud membawa anak-anak menonton jika target dia adalah 'orang dewasa' bukan anak-anak, maka kreator tidak salah.

    Namun, lepas dari itu semua. Dua kubumu juga bisa dibenarkan.
    Karena:
    Mengambil topik orang tua, anak, dan internet.
    Orang tua pasti mengalami dilema karena internet dari sisi positifnya 'jendela dunia' tapi dari sisi negatifnya 'gempa dunia'.
    Banyak orang tua 'sibuk kerja' tapi berusaha 'melihat' anaknya, namun itu tidak bisa dilakukan 24/7. Finally, tentu saja orang tua butuh bantuan dari sang anak. Tapi seperti yang kamu katakan, anak belum tahu manakah yang benar/salah.
    Oleh karena itu, semuanya perlu 'pembiasaan diri pada anak sejak dini'.
    Maksudnya di sini, orang tua membutuhkan bantuan sang anak untuk tidak melewati batas pada pemakaian internet. Caranya? Orang tua perlu melakukan pembiasaan diri pada anak sejak awal.
    Jika hal ini diterapkan, pasti anak juga memahami dan terbiasa. Semoga.

    Untuk keseluruhan artikel kamu. Aku suka. Keren. Ditunggu artikel2 selanjutnya ya, maaf jika ada yang salah-salah.

    Anyway, jika berminat, main-main ke blogku ya.

    ReplyDelete
  8. Daus mau S2 ya? Tesis nya tentang ini Us?

    ReplyDelete
  9. Jadi mulai mikir tulisan gue di blog klo di baca anak kecil gimana ya

    Semoga tetep bisa menghibur sekaligus mendidik. :)

    ReplyDelete
  10. "revisi bagian latar belakang kamu, menurut saya itu bukan latar belakang, tapi opini dari satu sudut pandang yang tidak fleksible"

    -Dosen pembimbing daus, tua, Menuju duda

    ReplyDelete
  11. Aku termasuk kubu pertama, aku kecewa sih sama yutubers yang gak mau disalahkan. Mungkin nih, mereka berpikiran kayak gitu karena belum punya anak, jadi ya cukup egois untuk memanfaatkan hak dan kebebasannya.

    Aku juga punya adek masih kecil soalnya yang suka banget nonton video, tapi aku selalu bilang,

    "Fi, kamu nonton Reza Oktovian ga?" (karena dia suka yutuber gamers)
    "Engga kok."
    "Oh yaudah, jangan ditonton ya." (I'm sorry to say)

    Dan gak bosen ingetin adek buat, "Jangan yg banyak ngomong jeleknya lho ya."

    Bener sih, jangan malas mendidik. Di sekolahin belum tentu cukuuuup.

    ReplyDelete
  12. Salah siapa yah, entahlah..
    Tapi nanti kalo gue udah punya anak..gue wanti-wanti jangan sampe jadi manusia yang begitu. Serem euy... yang malu kan orang tuanya. Nanti endingnya malah kayak ortu murid yang nonjok guru itu lagi.. hyiii..

    ReplyDelete

Powered by Blogger.