Cerita Pasca Sidang

Sejak masuk ke tingkat akhir sebagai mahasiswa, rutinitas harian gue mulai melonggar. Yang biasanya sibuk karena tugas kuliah, mulai berubah jadi lebih santai.

Itu karena mata kuliah yang gue program hanya satu, yaitu skripsi. Skripsi juga bukan sesuatu yang harus dikerjakan setiap hari. Gue mengerjakannya hanya sesekali, kalau lagi rajin. Sementara bimbingan ke dosen, seingat gue, cuman dua kali dalam sebulan. Itu pun kalau ingat. Malah pernah kejadian, dalam satu bulan, gue gak ada bimbingan sama sekali. Bukan sebuah prestasi memang. Tapi begitulah kenyataannya.

Tugas kuliah tidak ada, skripsi angin-anginan. Itu membuat waktu kosong gue semakin banyak. Gue jadi sering gegoleran di kasur. Tiap hari bangun jam 8 pagi, bangkit dari kasurnya jam 2 siang. Percuma.

Menyadari bahwa banyak tidur itu buruk bagi masa depan, maka pada akhirnya, gue mencari kesibukan. Gue coba-coba daftar lowongan kerja di kampus. Begitu diterima, bukan berarti waktu kosong gue hilang begitu saja. Pekerjaan itu ternyata tidak terlalu padat. Namun setidaknya cukup untuk membuat gue tidak tidur terus.

Bulan demi bulan berlalu, atas izin Allah, kuliah gue kelar. Kebetulan kerjaan lagi banyak kosong. Maka dengan demikian, resmi sudah gue menjadi pengangguran sejati.

Menjadi pengangguran itu rasanya manis-manis-sepet. Manisnya dua kali, tapi apalah arti kalau ada sepet di ujung. Ibarat kayak makan pizza gratis, tapi dengan syarat harus minum jamu beras kencur dua galon. Dijamin rasa pizza tadi hilang, sekaligus usus dua belas jari kita. Asik sih gegoleran di kasur, nonton film, baca buku, jalan-jalan. Cuman kesenangan itu sirna seketika saat ditanya, “Lagi sibuk apa nih?”

Lagi sibuk apa nih, lo bilang?!

SIBUK NGABISIN BERAS KENCUR!

Sialan ya memang, orang-orang yang nanya begitu. Maksudnya mungkin baik. Menanyakan kesibukan adalah bentuk kepedulian. Tapi gue yakin, gak semua orang yang bertanya begitu benar-benar peduli. Ada yang memang mau mengintimidasi doang. Memainkan psikologis si pengangguran agar semakin tertekan, hingga malu, stres, lalu mengidap skizofrenia.

Sebagai pengangguran muda, atau dengan kata lain fresh-pengangguran, gue masih meraba-raba langkah apa yang selanjutnya musti gue ambil. Beberapa teman menyarankan tiga pilihan: 1) lanjut kuliah; 2) cari kerja; atau 3) nikah aja. Kuliah S2 jelas dicoret karena pertama biayanya mahal. Kedua, gue sudah muak sama perkuliahan! Lalu, nikah? Sama aja alasannya di biaya juga. Cuman kalau nikah modal 200 ribu itu bisa, ya hayuk aja! Kebetulan di tabungan ada 500 ribu. Dua ratus buat nikah, sisanya buat sewa kamar hotel. Tapi di zaman sekarang, emang ada orang tua yang rela anaknya dinikahin dengan modal 200 ribu?

Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah cari kerja. Cari kerja juga gak segampang cari upil. Butuh pengorbanan juga. Gue punya seorang teman. Dia sudah sarjana sekitar enam bulan. Sudah lamar kerja sana-sini. Panggilan sana-sini buat psikotes dan wawancara. Bolak-balik naik kereta, ke Bandung, Semarang, Surabaya. Pokoknya semua dia jabanin. Tapi, sampai minggu kemarin saat kami terakhir ketemu, belum ada satu pun perusahaan yang mengangkatnya jadi pegawai.

“Kamu tahu, Us? Satu bulan ini aja, mungkin ada enam kali aku dipanggil wawancara,” ujarnya.

Gue cuman bisa senyum masam.

Ya Allah, gimana gue nanti? *minum beras kencur*

Yah, gak tahu deh. Setiap orang punya jalan masing-masing. Untuk sampai ke tahap cari kerja, gue masih punya waktu. Yang mana tentunya, waktu tersebut gue gunakan dengan tidak bijak. Hehehe. Karena gue masih menunggu wisuda dulu, baru pulang ke kampung halaman yaitu Banjarmasin, lalu mencari kerja.

Sisa waktu gue di Malang mungkin tinggal dua bulan. Tentu, waktu ini akan lebih banyak gue habiskan dengan orang-orang terdekat. Belakangan ini, gue jadi lebih sering main ke kos teman. Entah itu main PES, main catur, atau sekedar leyeh-leyeh tidak jelas.

Gue juga jadi sering main ke kontrakan Dewi. Meskipun sering kali bingung mau ngapain, tapi setidaknya kami bisa menghabiskan waktu bersama. Karena mungkin, dua bulan kemudian, ini akan menjadi hal yang langka.

Gue dan Dewi itu sangat jarang foto berdua. Tapi karena kemaren lusa kami betul-betul gak tahu mau ngapain, akhirnya kami foto-foto selfie gak jelas gitu. Berikut beberapa cuplikan fotonya.

Yah, meskipun gak jelas, tapi bagi gue ini sangat menyenangkan.