Aurora di Alaska

WELCOME! IT'S A SPECIAL POST.
Ini adalah cerita pendek yang khusus gue tulis untuk post ke-100.
Cukup panjang. So, ambil posisi yang nyaman. Selamat membaca & menikmati.
Jangan lupa baca basmalah.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Bumi bulat sempurna. Dari luar angkasa, negara kepulauan Indonesia tampak gelap. Pulau-pulaunya memancarkan cahaya-cahaya kecil. Banyak tapi tak merata. Semakin ke timur, cahaya-cahaya kecil itu semakin sedikit.

Di tengah Indonesia, terdapat sebuah pulau bernama Kalimantan. Di sana, di Kalimantan bagian selatan, ada sebuah kota yang memancarkan cahaya terang. Lebih terang dibanding kota-kota sekitarnya. Itu adalah Kota Banjarmasin.

Sekarang, kita tidak sedang belajar geografi. Kita juga tidak sedang mempelajari peta. Tetapi kita sedang memulai sebuah cerita. Cerita yang bermula di sebuah jalanan bising.

(0.0)


“Kita mau ke mana?” tanya Cahaya kepada lelaki yang memboncengnya.

Utara menarik kepalanya sedikit ke belakang. “HAH?” ujarnya, tidak mendengar. Malam itu jalanan ramai kendaraan. Angin juga kencang. Membuat suara perempuan berbibir tipis itu menjadi samar.

“Kita mau ke mana?!” ulang Cahaya, sedikit keras dari sebelumnya.

“HAH? APAAAH?” jawab Utara tak kalah nyaring.

Wajah Cahaya mulai kesal. “KITAAA. MAAAU. KE. MANAAA?! KITA MAU KE MANAAA?!!”

Sambil serius menatap ke depan, Utara membalas, “OOOOOOH!” Lalu ia diam. Cahaya menunggu jawaban atas pertanyaannya itu. Ia penasaran, karena sejak seminggu lalu saat ajakan itu ditawarkan, sampai akhirnya mereka pergi, Cahaya belum tahu Utara akan membawanya ke mana.

Utara memacu motornya di jalan besar. Menyalip motor-motor dan mobil-mobil di depan.

“TAR!” Cahaya mendorong pelan punggung Utara.

“YAAA?” Suara Utara menyatu dengan deru angin.

“Kamu denger aku ngomong gak?”

“HAH? NGOMONG APAAA?”

Cahaya menutup wajah dengan kedua tangan. “Astaghfirullah...” lirihnya.

(0.0)

Mereka memasuki kawasan sunyi. Jalanan tidak bising lagi. Angin pun tidak sekencang tadi. Sejak berangkat, mereka tidak berbicara apapun. Utara fokus mengendarai motor. Sementara Cahaya duduk melamun di jok belakang.

“Kamu tahu nggak kita ke mana?” Utara melirik dari kaca spion.

Cahaya tidak menjawab.

“Aku mau culik kamu,” kata Utara.

Mata Cahaya melebar, kemudian membalas tajam lirikan Utara melalui kaca spion.

“Kamu mau gak aku culik?” tanya Utara dengan santai.

“Nggak mau laaah!” jawab Cahaya, sambil sedikit menggerakkan badannya, membuat motor sedikit oleng.

“Ya sudah. Pokoknya aku tetap culik kamu.”

Cahaya diam. Setelah itu tidak ada perbincangan lagi. Motor yang dikendarai Utara melaju melewati rumah-rumah warga. Hanya satu dua motor lalu-lalang di daerah sana. Sampai kemudian mereka tiba di sebuah rumah makan yang sangat ramai. Banyak mobil dan motor diparkir di halamannya. Rumah makan itu tampak terang.

Utara memarkir motor di samping rumah makan. Kemudian mereka berdua turun dan berjalan masuk.

Meja-meja di rumah makan itu hampir penuh. Mereka memilih meja di pinggir sebelah kanan, dekat wastafel. Mereka duduk, kemudian memanggil pelayan.

“Kok bisa ya, ada tempat makan sebegini-ramainya di tempat sunyi sepi?” tanya Cahaya sambil membenarkan posisi duduknya.

“Ya bisa,” jawab Utara. “Sebenarnya, kita tadi melewati perbatasan dunia manusia.”

“Hah? Maksudnya?”

“Jalanan sepi tadi sebenarnya perbatasan antara dunia manusia dan dunia jin. Percaya gak? Sekarang ini nih, kita lagi ada di rumah makan di dunia jin. Lihat! Semua orang di sini aslinya bukan orang. Mereka jin,” ujar Utara serius.

Cahaya hanya bisa menggulingkan matanya ke atas. Bentuk respon atas lelucon Utara yang garing.

Sejak awal, Utara memang berniat untuk tampil lucu di hadapan Cahaya. Ia ingin menjadi orang yang menyenangkan. Menjadi orang yang berkesan bagi Cahaya. Namun sejauh ini, belum ada lelucon yang berhasil membuat Cahaya tertawa.

Cahaya memang memiliki wajah yang ‘luwes’. Membuatnya tampak riang di setiap saat. Bibirnya selalu melengkung. Tersenyum. Namun siapa sangka. Di balik senyuman itu, ia tidak sedang bahagia. Justru, ia sedang mengalami patah hati yang hebat.

(0.0)

Di rumah makan khas Aceh itu, Cahaya memesan roti maryam topping keju dan segelas jus timun. Utara memesan nasi goreng daging sapi dan teh tarik.

Mereka membuka obrolan dengan topik cuaca. Saat itu, Banjarmasin masih sering hujan lebat. Sehingga membuat banjir di beberapa tempat, termasuk halaman depan kos Cahaya. Cahaya mengeluhkan hal tersebut. Utara mengiyakan. Lalu topik berpindah ke fenomena gerhana matahari beberapa minggu lalu. Mereka saling berargumen, bertukar informasi.

Lalu tiba-tiba, Utara teringat sesuatu. “Kamu tahu aurora gak?” tanyanya.

Cahaya memasang wajah berpikir, mengingat-ingat. “Aurora itu cahaya yang ada di kutub, bukan, sih?”

Utara mengangguk mantap.

“Hasil interaksi dari medan magnet planet dengan cahaya matahari,” lanjut Utara. “Sering muncul di Alaska, Amerika. Belahan bumi bagian utara.”

Cahaya tersenyum. Ia sepertinya menangkap pesan tersirat dari penjelasan Utara. Senyuman itu adalah senyuman jujur pertamanya malam ini. Utara tidak bisa membedakannya. Baginya, jujur maupun tidak, sama saja. Sama-sama indah.

Tetapi senyuman indah saja tidak cukup bagi Utara. Indikasi suksesnya pertemuan malam ini adalah Cahaya harus tertawa terpingkal-pingkal. Atau minimal tertawa kecil. Karena menurut Utara, faktor utama mendapatkan hati perempuan adalah dengan menjadi lucu.

Utara telah menyiapkan bahan obrolan sejak dua hari lalu, dan mencatatnya di handphone. Utara juga menyiapkan lawakan-lawakan di setiap topik obrolannya. Persiapannya begitu matang. Namun Cahaya tidak mengetahui semua itu.

 (0.0)

Selagi menunggu makanan datang, Utara bilang kepada Cahaya kalau ia ingin bercerita. Cerita tentang masa kecilnya yang penakut. Cahaya mengangguk, lalu menegakkan posisi tubuhnya. Ia siap mendengarkan.

Utara memulai ceritanya.

Suatu pagi di hari senin, Utara hilang. Orang tuanya panik. Mereka mencari ke setiap sudut rumah namun Utara tidak ada. Mereka berteriak memanggil nama Utara, bahkan sampai bertanya ke tetangga. Tetangga mereka juga tidak tahu Utara di mana, lalu memutuskan ikut mencarinya.

Terakhir kali Utara terlihat saat shalat subuh berjamaah. Ibunya pergi ke dapur menyiapkan sarapan. Sementara ayahnya pergi ke halaman untuk menyapu. Satu jam kemudian, setelah Ibu Utara selesai membuat nasi goreng, ia memanggil anak satu-satunya itu untuk sarapan. Namun tidak ada jawaban. Ibunya masuk ke kamar. Utara tidak ada.

Utara menghilang selama tiga puluh menit. Sampai akhirnya Utara ditemukan menangis sambil memeluk lutut di atas plafon.

“Hah?” Cahaya tersentak dengan kalimat terakhir. Kemudian ia coba menebak. “Kamu kerasukan, Tar? Lihat hantu?”

Utara menggeleng.

Sambil menangis, Utara bilang pada ibunya kalau ia sangat ketakutan. Ibunya bertanya-tanya, apa yang membuatnya ketakutan? “Aku diam aja. Gak kujawab. Aku masih sesenggukan. Bicara sambil sesenggukan itu susah,” ujar Utara.

Utara menghentikan sejenak ceritanya. Karena setelah ini akan memasuki bagian ending. Twist-ending. Bagian yang ia anggap paling lucu di sepanjang kisahnya. Sementara Cahaya menyimak dengan wajah serius.

“Aku bilang ke Ibu, ‘Aku takut... So-soalnya hari ini upacara.’ Ibuku bingung. Terus ia tanya, ‘Memang ada apa sama upacara?’ Aku diam lagi. Ibuku tanya lagi dengan sedikit memaksa. Sambil sesenggukan aku menjawab, ‘Hari ini... Hari ini aku jadi pemimpin barisan.’ Hehehehe.”

Ada hening sejenak.

Utara masih terkekeh. Ia menunggu reaksi Cahaya.

Masih hening.

“Terus?” tanya Cahaya.

Utara menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Ya... ya udah. Itu. Aku takut gara-gara jadi pemimpin barisan. Selesai.”

“Oooooh...” Cahaya mengangguk polos.

Utara langsung pamit ke toilet.

(0.0)

Utara kembali dari toilet setelah pelayan menaruh makanan di atas meja. Ia memerhatikan Cahaya yang sedang melamun. Tidak lama, Cahaya sadar kalau ia sedang diperhatikan. Garis mulutnya seketika melengkung. Senyuman yang tak kalah indah dari sebelumnya. Tapi itu senyuman palsu. Senyuman untuk menutupi gundah hatinya.

Utara membalas senyuman itu dengan kaku. Cerita pertamanya gagal membuat Cahaya tertawa. Tapi ia masih punya satu cerita lagi. Akan ia ceritakan nanti, setelah selesai makan. Ia mengambil sesendok nasi goreng lalu melahapnya.

“Menurutmu,” kata Cahaya.

Utara langsung mendongak. Menghentikan kunyahan.

“Lari dari masalah itu baik atau buruk?” lanjut Cahaya.

Utara mengangkat alisnya sebelah. Pertanyaan macam apa ini, ujarnya dalam hati. Serius sekali. Utara bukan tipe lelaki serius. Ia lebih senang bercanda.

Utara mengambil napas pendek. Baiklah, pikirnya. Demi menjawab pertanyaan Cahaya barusan, ia mencoba untuk serius. Utara mengunyah makanan di mulutnya cepat-cepat. Minum. Lalu berdehem.

“Pertanyaan yang serius. Bahkan sangat serius. Okay. Lari dari masalah. Baik atau buruk? Kalau menurut aku, itu buruk. Sekaligus baik. Buruk, karena masalah tidak terselesaikan. Baik, karena lari itu menyehatkan.”

Cahaya tersedak jus timun. Ia buru-buru menutup mulutnya. Utara menatap Cahaya yang sedang repot membersihkan bibir pakai tisu. Lagi-lagi, yang terbit dari bibirnya hanyalah senyum.

“Aku gak tahu masalahmu kayak gimana,” ujar Utara, melanjutkan kalimatnya. “Tapi kurasa semua masalah itu sama saja. Sama-sama bikin pusing. Tapi sama-sama harus dihadapi. Sejauh apapun kamu berlari, masalah akan selalu bersamamu.”

“Masalah itu bukan berada di sana,” Utara menunjuk lelaki penjaga kasir, “sehingga kamu harus berlari ke sana,” lalu menunjuk motor miliknya. “Masalah itu bukan berada di Utara,” ia menunjuk dirinya sendiri, “sehingga kamu harus berlari ke selatan.” Utara tidak menunjuk. Ia kebingungan mencari arah selatan.

Cahaya mengangguk perlahan.

“Masalah itu berada di sini.” Utara mengarahkan jari telunjuk ke dadanya, lalu kepada Cahaya. “Masalah itu bagian dari dirimu. Kembalilah, sebelum kamu pergi terlalu jauh. Temui masalahmu. Berdamailah.”

Cahaya mengangguk lagi. Kini anggukannya lebih besar. Tanda bahwa ia memahami analogi sederhana dari lelaki di depannya ini. Rupanya Utara bisa serius juga, gumamnya.

Cahaya jadi teringat bagaimana acara makan malam ini bisa bermula.

Tepat seminggu lalu, seorang lelaki dengan motor bebek tua datang ke kosannya. Lelaki itu mengetuk pintu. Seorang wanita tua membukakannya. Lelaki itu tidak banyak bicara, hanya menitipkan sebuah undangan, dan minta tolong diberikan kepada Cahaya. Wanita tua itu mengangguk ragu. Ia merasa sedikit aneh dengan bentuk undangan itu.

Sorenya, wanita tua yang sering dipanggil Acil itu datang ke kamar Cahaya, lalu memberikan undangan. Cahaya sedikit kaget dan heran. Undangan itu kecil, berwarna biru, dan bergambar Doraemon. Undangan siapa ini, pikirnya.

Cahaya membalik undangan itu. Di bagian belakang terdapat tulisan tangan. “Assalamu’alaikum. Aku Utara. Minggu depan aku ulang tahun. Kamu mau gak, aku ajak makan malam?”

Tawa Cahaya langsung lepas dan menggema di kamarnya. Tawa yang sangat nyaring dan panjang. Juga tawa yang tak henti-hentinya. Cahaya lalu merebahkan dirinya ke kasur. Senyumnya masih tersungging. Ia lihat lagi undangan itu. Ia baca lagi. Tawanya membahana kembali.

Utara tidak mengetahui hal itu.

(0.0)

Usai pertemuan di ‘rumah makan jin’ itu, Utara dan Cahaya tak pernah bertemu lagi.

Pertemuan malam itu membawa angin segar bagi kehidupan Cahaya. Nasehat sederhana dari Utara, menuntunnya untuk menyelesaikan sebuah masalah.

Dua hari setelah bertemu Utara, Cahaya menemui mantan pacarnya. Cahaya ingin minta maaf. Ia merasa bersalah atas berakhirnya hubungan mereka. Ketika putus, mantan pacar Cahaya, Banyu memilih pergi membawa rasa benci yang luar biasa. Berbulan-bulan terbentang jarak yang besar antar mereka berdua. Semakin hari semakin membesar.

Cahaya datang ke kampus Banyu, menemui Banyu, lalu mengajaknya bicara di taman. Dengan sedikit basa-basi di awal, Cahaya kemudian meminta maaf. Tanpa ia duga, Banyu langsung memaafkannya. Rupanya, Banyu telah lama berdamai dengan masalah tersebut. Ia ikhlas, dan menerima perbuatan yang dilakukan Cahaya padanya enam bulan lalu itu.

Obrolan siang itu sangat singkat. Banyu izin kembali ke kelas. Tepat setelah Banyu hilang dari pandangan, Cahaya menghelas napas panjang. Ia baru saja berdamai dengan dirinya sendiri.

(0.0)

Jauh di Kota Tarakan, Kalimantan bagian utara, ada sebuah rumah dengan jendela yang masih terbuka. Lampunya masih menyala. Sementara waktu sudah menunjukkan pukul dua malam.

Di kamarnya, Utara sedang berkutat dengan laptop. Menulis naskah cerpen. Sejak dulu, ia memang sering menulis cerpen namun tidak pernah dipublikasikan. Ia tidak percaya diri dengan tulisannya. Jadi, ia menulis hanya untuk bersenang-senang.

Utara sedang menulis pengalamannya satu bulan lalu. Sebuah pertemuan makan malam dengan Cahaya.  Ia menuturkan kisah dari awal hingga akhir. Dimulai ketika ia menulis undangan ulang tahun lalu memberikannya kepada wanita tua. Lalu makan malam. Di sana, ia bercerita tentang pengalaman masa kecil yang ia pikir lucu tapi ternyata sangat garing. Ia juga membahas topik tentang aurora. Utara menuliskannya dengan rapi dan detil. Dan di akhir tulisannya, Utara mengatakan bahwa sebenarnya ia telah gagal.

Utara menutup laptopnya. Kemudian melemparkan diri ke kasur.

Sebulan setelah pertemuan itu, Utara tidak lagi di selatan. Ia pindah mengikuti orang tuanya ke Kalimantan Utara. Pergi jauh meninggalkan Kota Seribu Sungai dengan membawa segenggam masalah dalam dirinya. Masalah yang sampai kini belum selesai. Masalah yang tumbuh di malam saat ia bertemu Cahaya. Ia telah jatuh cinta.

Pertemuan malam itu juga sekaligus membuatnya sadar. Ia jatuh cinta pada seseorang yang tak jatuh kepadanya. Ia sadar, Cahaya tak akan pernah jatuh ke Utara. Semuanya hanyalah mimpi. Satu-satunya yang nyata ialah aurora di Alaska.

TAMAT
------------------------------------------------------------------------------------------------------
  

29 comments:

  1. Sedih mas, apa ini nonfiksi?

    Btw aku bacanya ko mirip2 Dilan ya? Hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha iya Rul. Sedikit banyak terpengaruh Dilan. Juga gaya tulisan terpengaruh Tere Liye sama Raditya Dika. :'D Aku memang ga orisinil.

      Delete
  2. Huwaaaaaaa keren. Parah.
    Aku menikmati ceritanya banget bang. Itu Utaranya kok kayak elu ya bang? Atau emang elu? Lu yg penakut nggak mau masuk sekolah karena takut jd pemimpin upacara. Hahaaaa
    Cahaya pembawaannya lugu dan serius banget. Wkwkwk

    Aku kira itu memang rumah makan jin bang. Hahahahaaaa taunya kagak.
    Suka dengan kalimat, ''Cahaya tak akan pernah jatuh ke Utara. Semuanya hanyalah mimpi. Satu-satunya yang nyata ialah aurora di Alaska.''

    ReplyDelete
  3. Favoriit bangeeet.
    apalagi kalimat penutupnya. Ya Allaaaaaah. :')
    Aku terharu.
    Pertemuan malam itu juga sekaligus membuatnya sadar. Ia jatuh cinta pada seseorang yang tak jatuh kepadanya. Ia sadar, Cahaya tak akan pernah jatuh ke Utara. Semuanya hanyalah mimpi. Satu-satunya yang nyata ialah aurora di Alaska.

    Aku paling gak bisa baca yang kaya gini. :')

    ReplyDelete
  4. Bagus banged pake d. Eh aku mau dong diajak ke rumah makan jin (?)

    ReplyDelete
  5. Tapi jadi pemimpin barisan pas upacara emang serem, sih. Gue pas zaman sekolah juga takut, dan akhirnya belum pernah nyoba sama sekali. :(

    Soal komentar Arul, paduan dari ketiga penulis itu terus dijadiin gaya sendiri bukannya gapapa? Emang nggak ada yang orisinil, kan? :D

    Btw, ini keren loh. Bikin baca sampe abis. Dan penutup ceritanya mantap. :))

    ReplyDelete
  6. Nice story us, two thumbs! Memang ada gaya tere liye di deskripsi tempat dan suasananya, ada dilan dalam percakapannya, ada radit dalam leluconnya. Tapi dari semuanya cuma ada kamu dari ide cerita dan yang nulis ini us :)) aku suka diksi dari inti cerita ini. Btw, udah aku komen loh yaaa

    ReplyDelete
  7. gue langsung tertarik waktu bahas ada tmpt tinggal gue yaitu Banjarmasin hehe. gilee..gilee...gile . bang mending bikin novel kayak mbak dee lestari deh soalnya cerita bikin imajinasi pembaca berkembang. good job!

    ReplyDelete
  8. Anjir! Kata2 terakhir keren abis bang. Ceritanya keren bang.
    Tapi ada satu bagian gue harus mencernanya dulu, harus 2 atau 3 kali baru maksud dengan artinya. Mungkin emang gue aja yg cupu kali ya... hehe

    Eh iya, jadi pemimpin di hari senin itu emang serem abis. Gue aja gitu.. hoho
    Ceritanya gak terduga bang, gak kayak FTV. Hehe

    ReplyDelete
  9. Wahh benar-benar parah. Bikin gue jleb nusuk ke hati. Sedikit kasihan sama Utara, udah siapin materi buat diceritain ke Cahaya. Dan gak sesuai dengan apa diharapan.

    Masalah cerita Utara jadi upacara. Jujur kalau ke guenya sempat ketawa. Memang jadi pemimpin itu serem. Tapi kenapaaaa Cahaya tidak ketawa? Apakah karena masalahnya itu dia harus menahan untuk tertawa?

    Kata-kata ending. Berhasil buat gue jleb untuk kedua kalinya :') Yang sabar yah. Gue tau apa yang lo rasakan Utara :'3 #Baper

    ReplyDelete
  10. Kisah nyata ya? hihihi

    mau nyulik kok pake nanya2 dulu sih mau diculik apa enggak.. hehehe
    wkwkwkwk
    ceritanya bagus.. ada lucu-lucunya, ada romantisnya, dan ada maknanya.. :)

    ReplyDelete
  11. HALOOOO SALAM KENAL! Kayaknya baru pertama kali mampir ke sini.
    Btw aaaaaak aku sukaaaaa!!!!
    Aku jarang banget nemuin cerpen yang ditulis dengan tata bahasa yg rapih gini. Biasanya cerpennya cuma kayak disampaikan, tp gak memperhatikan estetika bahasa dan tanda bacanya.
    Rajin2 nulis cerpen lagi yaaa. Biar aku dapet inspirasi buat bikin cepren (lagi) jugaa. :)

    ReplyDelete
  12. Aku suka sama Utara, candaannya, keseriusannya, lugunya. Pokokya aku suka!

    Kata-katanya itu lohhhhh, jujur aku baru baca ini dan suka. Bikin cerpen lagi terus nanti aku baca lagi, dan suka lagi. Aku jadi fans mu ajalah..

    ReplyDelete
  13. Bagus banget cerpennya! Enak banget buat dibaca. Ceritanya juga enak dibaca. Lanjut buat cerpennya !

    ReplyDelete
  14. Bangkek :' ini 'kaya' banget tulisannya :' aku ngerasa kayak baca tulisannya radityadika sama tereliye secara bebarengan :' Aaaah, syadis Daus Mah :))

    ReplyDelete
  15. hahaha si utara candanya bener2 dah

    ReplyDelete
  16. Nama cowonya Utara? Untung bukan Uttaran ya.. efek kebanyakan drama India ya gini. Bukan aku yang nonton tapi ibu sama adikku yang suka nonton. Kok jadi bahas India ya?

    Aku pikir endingnya bakal bahagia, ternyata bahagia buat Cahaya. Endingnya bagus nih, gak terduga. Untungnya juga Utara gak galau sampai bunuh diri gitu. Nice post :)

    ReplyDelete
  17. uuuu..... so sweet
    awalnya aku pikir, judulnya aurora? apa ceitanya tentang perjalanan di alaska? eh tapi kok pemerannya orang indonesia, si cahaya dan utara. apa aurora udah pindah ke indonesia sampai bisa dilihat dari kalimantan? aku salah.. terlalu fokus sama bungkusnya tapi g ngerasain dalamnya.
    utara ini munafik ya? dia bilang pada cahaya kalau kita harus berdamai dengan masalah, tapi utara sendiri g berdamai dengan masalahnya, malah di pergi menjauh dari cahaya. kenapa? takut ditolak? yah.. berjuang aja belum ra, kenapa udah takut jatuh duluan. g asik nih utara, hehehehe..
    overall, ceritanya keren banget!

    ReplyDelete
    Replies
    1. KOMENTAR TERFAVORIT!
      Utara memang semunafik itu, wahai Pipit. Begitu pula mereka-mereka yang mudah menasihati orang lain, namun kesusahan menasihati diri sendiri. :))
      Terima kasih sudah mau membaca dan memahaminya.

      Delete
  18. Sedih ya ceritanya.. salut bgt mas bisa menghasilkan karya sebagus ini.. pingin banget bs mbuat cerita yg bs dibaca banyak org, terlebih bisa dimuat media.. huhu

    ReplyDelete
  19. Gaya bahasanya enak mas, nggak bertele-tele :)

    Waw, ceritanya lumayan baper juga ya?

    Cinta memang tak harus memiliki, kan?

    :)

    ReplyDelete
  20. Alurnya sukses membuat gue pengen ngebaca ulang. Ceritanya asik, pokok e keren lah mas bro.

    Entah kenapa pas Cahaya ngomong ke Utara, lalu Utara hanya bilang "HAH", menurut gue itu lucu bin ngakak kalo gue melihat sepasang kekasih kek gitu :p.

    Sayang sekali ya, padahal sudah bersama di suatu "malam". Kadang kita selalu memaksakan kehendak kita mencintai orang yang tak mencintai diri kita. Poor Utara.

    ReplyDelete
  21. Kalo diculiknya macam begitu, akooh juga mauuu
    romantis abiis

    ReplyDelete
  22. kata orang juga .. kalau suka ga mesti beli ... ehh apa sih maksudnya, pokoknya .. ya begitu deh ...

    ReplyDelete
  23. wah wah wah, keren. apakah "utara" dalam cerita ini adalah dirimu bro? keren yak, hitung2 bikin cerita yang pemerannya dimanipulasi jadi utara dan cahay, hitung2 ngepromosiin banjarmasin juga sebagai opening ceritanya.

    ReplyDelete
  24. Ceritanya greget banget. Aku suka tuh sama kalimat penutupnya 'Cahaya tak akan pernah jatuh ke Utara. Semuanya hanyalah mimpi. Satu-satunya yang nyata ialah aurora di Alaska'. Keren bang. Bikin lagi yang lebih greget.

    ReplyDelete
  25. How to cope with fever and body ache with herbal medicine QNC gamat jelly can help heal or cope with chills and body aches naturally and quickly.

    ReplyDelete

Powered by Blogger.