Aurora di Alaska
WELCOME! IT'S A SPECIAL POST.
Ini adalah cerita pendek yang khusus gue tulis untuk post ke-100.
Ini adalah cerita pendek yang khusus gue tulis untuk post ke-100.
Cukup panjang. So, ambil posisi yang nyaman. Selamat membaca & menikmati.
Jangan lupa baca basmalah.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bumi bulat sempurna. Dari luar angkasa, negara kepulauan Indonesia tampak gelap. Pulau-pulaunya memancarkan cahaya-cahaya kecil. Banyak tapi tak merata. Semakin ke timur, cahaya-cahaya kecil itu semakin sedikit.
Di tengah Indonesia, terdapat sebuah
pulau bernama Kalimantan. Di sana, di Kalimantan bagian selatan, ada sebuah
kota yang memancarkan cahaya terang. Lebih terang dibanding kota-kota sekitarnya.
Itu adalah Kota Banjarmasin.
(0.0)
“Kita mau ke mana?” tanya Cahaya kepada
lelaki yang memboncengnya.
Utara menarik kepalanya sedikit ke
belakang. “HAH?” ujarnya, tidak mendengar. Malam itu jalanan ramai kendaraan. Angin
juga kencang. Membuat suara perempuan berbibir tipis itu menjadi samar.
“Kita mau ke mana?!” ulang Cahaya,
sedikit keras dari sebelumnya.
“HAH? APAAAH?” jawab Utara tak
kalah nyaring.
Wajah Cahaya mulai kesal. “KITAAA.
MAAAU. KE. MANAAA?! KITA MAU KE MANAAA?!!”
Sambil serius menatap ke depan,
Utara membalas, “OOOOOOH!” Lalu ia diam. Cahaya menunggu jawaban atas
pertanyaannya itu. Ia penasaran, karena sejak seminggu lalu saat ajakan itu
ditawarkan, sampai akhirnya mereka pergi, Cahaya belum tahu Utara akan
membawanya ke mana.
Utara memacu motornya di jalan
besar. Menyalip motor-motor dan mobil-mobil di depan.
“TAR!” Cahaya mendorong pelan punggung
Utara.
“YAAA?” Suara Utara menyatu dengan
deru angin.
“Kamu denger aku ngomong gak?”
“HAH? NGOMONG APAAA?”
Cahaya menutup wajah dengan kedua
tangan. “Astaghfirullah...” lirihnya.
(0.0)
Mereka memasuki kawasan sunyi.
Jalanan tidak bising lagi. Angin pun tidak sekencang tadi. Sejak berangkat,
mereka tidak berbicara apapun. Utara fokus mengendarai motor. Sementara Cahaya
duduk melamun di jok belakang.
“Kamu tahu nggak kita ke mana?”
Utara melirik dari kaca spion.
Cahaya tidak menjawab.
“Aku mau culik kamu,” kata Utara.
Mata Cahaya melebar, kemudian membalas
tajam lirikan Utara melalui kaca spion.
“Kamu mau gak aku culik?” tanya Utara
dengan santai.
“Nggak mau laaah!” jawab Cahaya,
sambil sedikit menggerakkan badannya, membuat motor sedikit oleng.
“Ya sudah. Pokoknya aku tetap culik
kamu.”
Cahaya diam. Setelah itu tidak ada
perbincangan lagi. Motor yang dikendarai Utara melaju melewati rumah-rumah
warga. Hanya satu dua motor lalu-lalang di daerah sana. Sampai kemudian mereka
tiba di sebuah rumah makan yang sangat ramai. Banyak mobil dan motor diparkir
di halamannya. Rumah makan itu tampak terang.
Utara memarkir motor di samping
rumah makan. Kemudian mereka berdua turun dan berjalan masuk.
Meja-meja di rumah makan itu hampir
penuh. Mereka memilih meja di pinggir sebelah kanan, dekat wastafel. Mereka duduk, kemudian
memanggil pelayan.
“Kok bisa ya, ada tempat makan
sebegini-ramainya di tempat sunyi sepi?” tanya Cahaya sambil membenarkan posisi
duduknya.
“Ya bisa,” jawab Utara. “Sebenarnya, kita tadi melewati perbatasan dunia manusia.”
“Hah? Maksudnya?”
“Jalanan sepi tadi sebenarnya perbatasan antara dunia manusia dan dunia jin. Percaya gak? Sekarang ini nih,
kita lagi ada di rumah makan di dunia jin. Lihat! Semua orang di
sini aslinya bukan orang. Mereka jin,” ujar Utara serius.
Cahaya hanya bisa menggulingkan
matanya ke atas. Bentuk respon atas lelucon Utara yang garing.
Sejak awal, Utara memang berniat
untuk tampil lucu di hadapan Cahaya. Ia ingin menjadi orang yang menyenangkan.
Menjadi orang yang berkesan bagi Cahaya. Namun sejauh ini, belum ada lelucon
yang berhasil membuat Cahaya tertawa.
Cahaya memang memiliki wajah yang
‘luwes’. Membuatnya tampak riang di setiap saat. Bibirnya selalu melengkung.
Tersenyum. Namun siapa sangka. Di balik senyuman itu, ia tidak sedang bahagia.
Justru, ia sedang mengalami patah hati yang hebat.
(0.0)
Di rumah makan khas Aceh itu, Cahaya
memesan roti maryam topping keju dan
segelas jus timun. Utara memesan nasi goreng daging sapi dan teh tarik.
Mereka membuka obrolan dengan topik
cuaca. Saat itu, Banjarmasin masih sering hujan lebat. Sehingga membuat banjir
di beberapa tempat, termasuk halaman depan kos Cahaya. Cahaya mengeluhkan hal
tersebut. Utara mengiyakan. Lalu topik berpindah ke fenomena gerhana matahari
beberapa minggu lalu. Mereka saling berargumen, bertukar informasi.
Lalu tiba-tiba, Utara teringat
sesuatu. “Kamu tahu aurora gak?” tanyanya.
Cahaya memasang wajah berpikir,
mengingat-ingat. “Aurora itu cahaya yang ada di kutub, bukan, sih?”
Utara mengangguk mantap.
“Hasil interaksi dari medan magnet
planet dengan cahaya matahari,” lanjut Utara. “Sering muncul di Alaska, Amerika. Belahan bumi bagian utara.”
Cahaya tersenyum. Ia sepertinya menangkap
pesan tersirat dari penjelasan Utara. Senyuman itu adalah senyuman jujur pertamanya
malam ini. Utara tidak bisa membedakannya. Baginya, jujur maupun tidak, sama saja. Sama-sama indah.
Tetapi senyuman indah saja tidak
cukup bagi Utara. Indikasi suksesnya pertemuan malam ini adalah Cahaya harus tertawa
terpingkal-pingkal. Atau minimal tertawa kecil. Karena menurut Utara, faktor utama
mendapatkan hati perempuan adalah dengan menjadi lucu.
Utara telah menyiapkan bahan
obrolan sejak dua hari lalu, dan mencatatnya di handphone. Utara juga menyiapkan lawakan-lawakan di setiap topik
obrolannya. Persiapannya begitu matang. Namun Cahaya tidak mengetahui semua itu.
(0.0)
Selagi menunggu makanan datang,
Utara bilang kepada Cahaya kalau ia ingin bercerita. Cerita tentang masa
kecilnya yang penakut. Cahaya mengangguk, lalu menegakkan posisi tubuhnya. Ia siap
mendengarkan.
Utara memulai ceritanya.
Suatu pagi di hari senin, Utara
hilang. Orang tuanya panik. Mereka mencari ke setiap sudut rumah namun Utara
tidak ada. Mereka berteriak memanggil nama Utara, bahkan sampai bertanya ke
tetangga. Tetangga mereka juga tidak tahu Utara di mana, lalu memutuskan ikut
mencarinya.
Terakhir kali Utara terlihat saat
shalat subuh berjamaah. Ibunya pergi ke dapur menyiapkan sarapan. Sementara
ayahnya pergi ke halaman untuk menyapu. Satu jam kemudian, setelah Ibu Utara
selesai membuat nasi goreng, ia memanggil anak satu-satunya itu untuk sarapan.
Namun tidak ada jawaban. Ibunya masuk ke kamar. Utara tidak ada.
Utara menghilang selama tiga puluh
menit. Sampai akhirnya Utara ditemukan menangis sambil memeluk lutut di atas
plafon.
“Hah?” Cahaya tersentak dengan
kalimat terakhir. Kemudian ia coba menebak. “Kamu kerasukan, Tar? Lihat hantu?”
Utara menggeleng.
Sambil menangis, Utara bilang pada
ibunya kalau ia sangat ketakutan. Ibunya bertanya-tanya, apa yang membuatnya
ketakutan? “Aku diam aja. Gak kujawab. Aku masih sesenggukan. Bicara sambil sesenggukan
itu susah,” ujar Utara.
Utara menghentikan sejenak
ceritanya. Karena setelah ini akan memasuki bagian ending. Twist-ending. Bagian
yang ia anggap paling lucu di sepanjang kisahnya. Sementara Cahaya menyimak
dengan wajah serius.
“Aku bilang ke Ibu, ‘Aku takut...
So-soalnya hari ini upacara.’ Ibuku bingung. Terus ia tanya, ‘Memang ada apa
sama upacara?’ Aku diam lagi. Ibuku tanya lagi dengan sedikit memaksa. Sambil
sesenggukan aku menjawab, ‘Hari ini... Hari ini aku jadi pemimpin barisan.’
Hehehehe.”
Ada hening sejenak.
Utara masih terkekeh. Ia menunggu
reaksi Cahaya.
Masih hening.
“Terus?” tanya Cahaya.
Utara menggaruk kepalanya yang
tidak gatal. “Ya... ya udah. Itu. Aku takut gara-gara jadi pemimpin barisan.
Selesai.”
“Oooooh...” Cahaya mengangguk
polos.
Utara langsung pamit ke toilet.
(0.0)
Utara kembali dari toilet setelah
pelayan menaruh makanan di atas meja. Ia memerhatikan Cahaya yang sedang
melamun. Tidak lama, Cahaya sadar kalau ia sedang diperhatikan. Garis mulutnya
seketika melengkung. Senyuman yang tak kalah indah dari sebelumnya. Tapi itu senyuman
palsu. Senyuman untuk menutupi gundah hatinya.
Utara membalas senyuman itu dengan kaku.
Cerita pertamanya gagal membuat Cahaya tertawa. Tapi ia masih punya satu cerita
lagi. Akan ia ceritakan nanti, setelah selesai makan. Ia mengambil sesendok nasi goreng lalu melahapnya.
“Menurutmu,” kata Cahaya.
Utara langsung mendongak.
Menghentikan kunyahan.
“Lari dari masalah itu baik atau
buruk?” lanjut Cahaya.
Utara mengangkat alisnya sebelah. Pertanyaan macam apa ini, ujarnya dalam
hati. Serius sekali. Utara bukan tipe lelaki serius. Ia lebih senang bercanda.
Utara mengambil napas pendek.
Baiklah, pikirnya. Demi menjawab pertanyaan Cahaya barusan, ia mencoba untuk serius.
Utara mengunyah makanan di mulutnya cepat-cepat. Minum. Lalu berdehem.
“Pertanyaan yang serius. Bahkan
sangat serius. Okay. Lari dari masalah. Baik atau buruk?
Kalau menurut aku, itu buruk. Sekaligus baik. Buruk, karena masalah tidak terselesaikan.
Baik, karena lari itu menyehatkan.”
Cahaya tersedak jus timun. Ia
buru-buru menutup mulutnya. Utara menatap Cahaya yang sedang repot membersihkan
bibir pakai tisu. Lagi-lagi, yang terbit dari bibirnya hanyalah senyum.
“Aku gak tahu masalahmu kayak
gimana,” ujar Utara, melanjutkan kalimatnya. “Tapi kurasa semua masalah itu
sama saja. Sama-sama bikin pusing. Tapi sama-sama harus dihadapi. Sejauh apapun
kamu berlari, masalah akan selalu bersamamu.”
“Masalah itu bukan berada di sana,”
Utara menunjuk lelaki penjaga kasir, “sehingga kamu harus berlari ke sana,” lalu
menunjuk motor miliknya. “Masalah itu bukan berada di Utara,” ia menunjuk
dirinya sendiri, “sehingga kamu harus berlari ke selatan.” Utara tidak
menunjuk. Ia kebingungan mencari arah selatan.
Cahaya mengangguk perlahan.
“Masalah itu berada di sini.” Utara
mengarahkan jari telunjuk ke dadanya, lalu kepada Cahaya. “Masalah itu bagian
dari dirimu. Kembalilah, sebelum kamu pergi terlalu jauh. Temui masalahmu.
Berdamailah.”
Cahaya mengangguk lagi. Kini
anggukannya lebih besar. Tanda bahwa ia memahami analogi sederhana dari lelaki
di depannya ini. Rupanya Utara bisa
serius juga, gumamnya.
Cahaya jadi teringat bagaimana acara
makan malam ini bisa bermula.
Tepat seminggu lalu, seorang lelaki
dengan motor bebek tua datang ke kosannya. Lelaki itu mengetuk pintu. Seorang
wanita tua membukakannya. Lelaki itu tidak banyak bicara, hanya menitipkan
sebuah undangan, dan minta tolong diberikan kepada Cahaya. Wanita tua itu
mengangguk ragu. Ia merasa sedikit aneh dengan bentuk undangan itu.
Sorenya, wanita tua yang sering
dipanggil Acil itu datang ke kamar Cahaya, lalu memberikan undangan. Cahaya sedikit
kaget dan heran. Undangan itu kecil, berwarna biru, dan bergambar Doraemon.
Undangan siapa ini, pikirnya.
Cahaya membalik undangan itu. Di
bagian belakang terdapat tulisan tangan. “Assalamu’alaikum.
Aku Utara. Minggu depan aku ulang tahun. Kamu mau gak, aku ajak makan malam?”
Tawa Cahaya langsung lepas dan
menggema di kamarnya. Tawa yang sangat nyaring dan panjang. Juga tawa yang tak
henti-hentinya. Cahaya lalu merebahkan dirinya ke kasur. Senyumnya masih
tersungging. Ia lihat lagi undangan itu. Ia baca lagi. Tawanya membahana
kembali.
Utara tidak mengetahui hal itu.
(0.0)
Usai pertemuan di ‘rumah makan jin’
itu, Utara dan Cahaya tak pernah bertemu lagi.
Pertemuan malam itu membawa angin
segar bagi kehidupan Cahaya. Nasehat sederhana dari Utara, menuntunnya untuk
menyelesaikan sebuah masalah.
Dua hari setelah bertemu Utara, Cahaya
menemui mantan pacarnya. Cahaya ingin minta maaf. Ia merasa bersalah atas berakhirnya
hubungan mereka. Ketika putus, mantan pacar Cahaya, Banyu memilih pergi membawa
rasa benci yang luar biasa. Berbulan-bulan terbentang jarak yang besar antar
mereka berdua. Semakin hari semakin membesar.
Cahaya datang ke kampus Banyu,
menemui Banyu, lalu mengajaknya bicara di taman. Dengan sedikit basa-basi di
awal, Cahaya kemudian meminta maaf. Tanpa ia duga, Banyu langsung memaafkannya.
Rupanya, Banyu telah lama berdamai dengan masalah tersebut. Ia ikhlas, dan
menerima perbuatan yang dilakukan Cahaya padanya enam bulan lalu itu.
Obrolan siang itu sangat singkat. Banyu
izin kembali ke kelas. Tepat setelah Banyu hilang dari pandangan, Cahaya
menghelas napas panjang. Ia baru saja berdamai dengan dirinya sendiri.
(0.0)
Jauh di Kota Tarakan, Kalimantan
bagian utara, ada sebuah rumah dengan jendela yang masih terbuka. Lampunya
masih menyala. Sementara waktu sudah menunjukkan pukul dua malam.
Di kamarnya, Utara sedang berkutat
dengan laptop. Menulis naskah cerpen. Sejak dulu, ia memang sering menulis cerpen
namun tidak pernah dipublikasikan. Ia tidak percaya diri dengan tulisannya.
Jadi, ia menulis hanya untuk bersenang-senang.
Utara sedang menulis pengalamannya
satu bulan lalu. Sebuah pertemuan makan malam dengan Cahaya. Ia menuturkan kisah dari awal hingga akhir. Dimulai ketika ia menulis undangan ulang tahun lalu memberikannya kepada wanita tua. Lalu makan malam. Di sana, ia bercerita tentang pengalaman masa kecil yang ia pikir lucu tapi ternyata sangat garing. Ia juga membahas topik tentang aurora. Utara menuliskannya dengan rapi dan detil. Dan di akhir tulisannya, Utara mengatakan bahwa sebenarnya
ia telah gagal.
Utara menutup laptopnya. Kemudian
melemparkan diri ke kasur.
Sebulan setelah pertemuan itu,
Utara tidak lagi di selatan. Ia pindah mengikuti orang tuanya ke Kalimantan
Utara. Pergi jauh meninggalkan Kota Seribu Sungai dengan membawa segenggam
masalah dalam dirinya. Masalah yang sampai kini belum selesai. Masalah yang
tumbuh di malam saat ia bertemu Cahaya. Ia telah jatuh cinta.
Pertemuan malam itu juga sekaligus membuatnya sadar. Ia jatuh cinta pada seseorang
yang tak jatuh kepadanya. Ia sadar, Cahaya tak akan pernah jatuh ke Utara. Semuanya
hanyalah mimpi. Satu-satunya yang nyata ialah aurora di Alaska.
TAMAT
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Baca juga: Kotak Mesin Waktu (http://www.salahtulis.com/2016/04/kotak-mesin-waktu.html)
Sedih mas, apa ini nonfiksi?
ReplyDeleteBtw aku bacanya ko mirip2 Dilan ya? Hehe
Haha iya Rul. Sedikit banyak terpengaruh Dilan. Juga gaya tulisan terpengaruh Tere Liye sama Raditya Dika. :'D Aku memang ga orisinil.
DeleteHuwaaaaaaa keren. Parah.
ReplyDeleteAku menikmati ceritanya banget bang. Itu Utaranya kok kayak elu ya bang? Atau emang elu? Lu yg penakut nggak mau masuk sekolah karena takut jd pemimpin upacara. Hahaaaa
Cahaya pembawaannya lugu dan serius banget. Wkwkwk
Aku kira itu memang rumah makan jin bang. Hahahahaaaa taunya kagak.
Suka dengan kalimat, ''Cahaya tak akan pernah jatuh ke Utara. Semuanya hanyalah mimpi. Satu-satunya yang nyata ialah aurora di Alaska.''
Favoriit bangeeet.
ReplyDeleteapalagi kalimat penutupnya. Ya Allaaaaaah. :')
Aku terharu.
Pertemuan malam itu juga sekaligus membuatnya sadar. Ia jatuh cinta pada seseorang yang tak jatuh kepadanya. Ia sadar, Cahaya tak akan pernah jatuh ke Utara. Semuanya hanyalah mimpi. Satu-satunya yang nyata ialah aurora di Alaska.
Aku paling gak bisa baca yang kaya gini. :')
Bagus banged pake d. Eh aku mau dong diajak ke rumah makan jin (?)
ReplyDeleteTapi jadi pemimpin barisan pas upacara emang serem, sih. Gue pas zaman sekolah juga takut, dan akhirnya belum pernah nyoba sama sekali. :(
ReplyDeleteSoal komentar Arul, paduan dari ketiga penulis itu terus dijadiin gaya sendiri bukannya gapapa? Emang nggak ada yang orisinil, kan? :D
Btw, ini keren loh. Bikin baca sampe abis. Dan penutup ceritanya mantap. :))
Nice story us, two thumbs! Memang ada gaya tere liye di deskripsi tempat dan suasananya, ada dilan dalam percakapannya, ada radit dalam leluconnya. Tapi dari semuanya cuma ada kamu dari ide cerita dan yang nulis ini us :)) aku suka diksi dari inti cerita ini. Btw, udah aku komen loh yaaa
ReplyDeletegue langsung tertarik waktu bahas ada tmpt tinggal gue yaitu Banjarmasin hehe. gilee..gilee...gile . bang mending bikin novel kayak mbak dee lestari deh soalnya cerita bikin imajinasi pembaca berkembang. good job!
ReplyDeleteAnjir! Kata2 terakhir keren abis bang. Ceritanya keren bang.
ReplyDeleteTapi ada satu bagian gue harus mencernanya dulu, harus 2 atau 3 kali baru maksud dengan artinya. Mungkin emang gue aja yg cupu kali ya... hehe
Eh iya, jadi pemimpin di hari senin itu emang serem abis. Gue aja gitu.. hoho
Ceritanya gak terduga bang, gak kayak FTV. Hehe
Wahh benar-benar parah. Bikin gue jleb nusuk ke hati. Sedikit kasihan sama Utara, udah siapin materi buat diceritain ke Cahaya. Dan gak sesuai dengan apa diharapan.
ReplyDeleteMasalah cerita Utara jadi upacara. Jujur kalau ke guenya sempat ketawa. Memang jadi pemimpin itu serem. Tapi kenapaaaa Cahaya tidak ketawa? Apakah karena masalahnya itu dia harus menahan untuk tertawa?
Kata-kata ending. Berhasil buat gue jleb untuk kedua kalinya :') Yang sabar yah. Gue tau apa yang lo rasakan Utara :'3 #Baper
Kisah nyata ya? hihihi
ReplyDeletemau nyulik kok pake nanya2 dulu sih mau diculik apa enggak.. hehehe
wkwkwkwk
ceritanya bagus.. ada lucu-lucunya, ada romantisnya, dan ada maknanya.. :)
HALOOOO SALAM KENAL! Kayaknya baru pertama kali mampir ke sini.
ReplyDeleteBtw aaaaaak aku sukaaaaa!!!!
Aku jarang banget nemuin cerpen yang ditulis dengan tata bahasa yg rapih gini. Biasanya cerpennya cuma kayak disampaikan, tp gak memperhatikan estetika bahasa dan tanda bacanya.
Rajin2 nulis cerpen lagi yaaa. Biar aku dapet inspirasi buat bikin cepren (lagi) jugaa. :)
Aku suka sama Utara, candaannya, keseriusannya, lugunya. Pokokya aku suka!
ReplyDeleteKata-katanya itu lohhhhh, jujur aku baru baca ini dan suka. Bikin cerpen lagi terus nanti aku baca lagi, dan suka lagi. Aku jadi fans mu ajalah..
Bagus banget cerpennya! Enak banget buat dibaca. Ceritanya juga enak dibaca. Lanjut buat cerpennya !
ReplyDeleteBangkek :' ini 'kaya' banget tulisannya :' aku ngerasa kayak baca tulisannya radityadika sama tereliye secara bebarengan :' Aaaah, syadis Daus Mah :))
ReplyDeletehahaha si utara candanya bener2 dah
ReplyDeleteNama cowonya Utara? Untung bukan Uttaran ya.. efek kebanyakan drama India ya gini. Bukan aku yang nonton tapi ibu sama adikku yang suka nonton. Kok jadi bahas India ya?
ReplyDeleteAku pikir endingnya bakal bahagia, ternyata bahagia buat Cahaya. Endingnya bagus nih, gak terduga. Untungnya juga Utara gak galau sampai bunuh diri gitu. Nice post :)
Us, bagus us..
ReplyDeleteuuuu..... so sweet
ReplyDeleteawalnya aku pikir, judulnya aurora? apa ceitanya tentang perjalanan di alaska? eh tapi kok pemerannya orang indonesia, si cahaya dan utara. apa aurora udah pindah ke indonesia sampai bisa dilihat dari kalimantan? aku salah.. terlalu fokus sama bungkusnya tapi g ngerasain dalamnya.
utara ini munafik ya? dia bilang pada cahaya kalau kita harus berdamai dengan masalah, tapi utara sendiri g berdamai dengan masalahnya, malah di pergi menjauh dari cahaya. kenapa? takut ditolak? yah.. berjuang aja belum ra, kenapa udah takut jatuh duluan. g asik nih utara, hehehehe..
overall, ceritanya keren banget!
KOMENTAR TERFAVORIT!
DeleteUtara memang semunafik itu, wahai Pipit. Begitu pula mereka-mereka yang mudah menasihati orang lain, namun kesusahan menasihati diri sendiri. :))
Terima kasih sudah mau membaca dan memahaminya.
Sedih ya ceritanya.. salut bgt mas bisa menghasilkan karya sebagus ini.. pingin banget bs mbuat cerita yg bs dibaca banyak org, terlebih bisa dimuat media.. huhu
ReplyDeleteGaya bahasanya enak mas, nggak bertele-tele :)
ReplyDeleteWaw, ceritanya lumayan baper juga ya?
Cinta memang tak harus memiliki, kan?
:)
Alurnya sukses membuat gue pengen ngebaca ulang. Ceritanya asik, pokok e keren lah mas bro.
ReplyDeleteEntah kenapa pas Cahaya ngomong ke Utara, lalu Utara hanya bilang "HAH", menurut gue itu lucu bin ngakak kalo gue melihat sepasang kekasih kek gitu :p.
Sayang sekali ya, padahal sudah bersama di suatu "malam". Kadang kita selalu memaksakan kehendak kita mencintai orang yang tak mencintai diri kita. Poor Utara.
Kalo diculiknya macam begitu, akooh juga mauuu
ReplyDeleteromantis abiis
kata orang juga .. kalau suka ga mesti beli ... ehh apa sih maksudnya, pokoknya .. ya begitu deh ...
ReplyDeletewah wah wah, keren. apakah "utara" dalam cerita ini adalah dirimu bro? keren yak, hitung2 bikin cerita yang pemerannya dimanipulasi jadi utara dan cahay, hitung2 ngepromosiin banjarmasin juga sebagai opening ceritanya.
ReplyDeleteMenarik Us, terus berkarya.
ReplyDeleteCeritanya greget banget. Aku suka tuh sama kalimat penutupnya 'Cahaya tak akan pernah jatuh ke Utara. Semuanya hanyalah mimpi. Satu-satunya yang nyata ialah aurora di Alaska'. Keren bang. Bikin lagi yang lebih greget.
ReplyDeleteHow to cope with fever and body ache with herbal medicine QNC gamat jelly can help heal or cope with chills and body aches naturally and quickly.
ReplyDelete