How I Found My Wife
Sebuah pertemuan sering kali menarik untuk diceritakan.
Apalagi pertemuan dengan pasangan hidup.
Saya pernah membaca sebuah cerita seorang dokter di Twitter. Cerita tersebut berjudul 'How I Found My Wife'. Ia bercerita bagaimana ia bisa bertemu istrinya melalui bisul. Silakan baca cerita lengkapnya di sini daripada menimbulkan asumsi yang aneh-aneh.
Bagi saya cerita tersebut sangat menarik, seru, lucu, dan unik. Saya pun akhirnya tergoda untuk mencoba menceritakan bagaimana saya bisa ‘bersama’ dengan istri saya. Mungkin cerita ini biasa saja. Tetapi saya harap kita bisa mengambil faedah di dalamnya.
Pertemuan kami sangat sederhana waktu itu. Suatu hari sedang ada kegiatan mahasiswa baru di kampus. Kami berdua panitianya. Kami sama-sama anggota BEM Fakultas. Itu adalah program kerja pertama kami.
Saya dari awal kegiatan memang nongkrongnya di pelataran gedung. Karena disuruh jagain makanan, takut ada yang ngambil. Na’as sekali pekerjaan saya saat itu. Tapi ya sudah lah.
Saat jam makan siang, seluruh panitia keluar. Termasuk istri saya di masa depan nanti. Dewi namanya. Ia keluar bersama teman-temannya kemudian berkumpul di salah satu sudut pelataran gedung. Kebetulan saya sudah ada di sana bersama teman yang lain. Kami pun berkumpul dan mengobrol.
Dari situ, saya jadi tahu bahwa di Indonesia ada kota bernama Luwuk.
“Luwuk?”
“Iya. Di Sulawesi Tengah,” ujar Dewi.
“Jauh dong?”
“Banget.”
Pada saat itu, saya masih biasa-biasa aja. Jadi mau rumahnya di Luwuk, mau di India, tidak ada masalah. Hehe.
Seiring berjalannya waktu, kami pun perlahan-lahan saling mendekat. Atau lebih tepatnya,
saya yang dekatin dia.
Pendekatan saya gak kampungan-kampungan amat. Waktu itu, biar saya bisa ketemu, alasannya adalah mau pinjam buku. Karena saya tahu dia punya banyak koleksi buku. Dan dia tahu saya suka baca dan nulis blog. Biar gak dikira modus-modus amat lah.
Singkat cerita, di akhir perkuliahan, kami benar-benar dekat. Frekuensi bertemu jadi lebih sering. Mengobrol juga bukan saat ketemu aja, tapi juga lewat chat. Dia tahu, saya suka sama dia. Begitu pula sebaliknya. Kegiatan saya saat itu juga hanya skripsi. Jadi kami banyak menghabiskan waktu bersama.
Permasalahan mulai muncul saat saya wisuda. Berhubung saya satu tingkat di atasnya, jadi saya lulus duluan. Dia masih harus menyelesaikan kuliahnya sekitar lima sampai enam bulan lagi. Rencana saya saat itu adalah, setelah lulus harus dapat kerja di Malang atau sekitarnya. Bukan pulang ke kota saya di Banjarmasin. Kenapa? Karena kami sudah kadung baper. Mau LDR pasti repot.
Namun takdir berkata lain. Kurang lebih tiga bulan di sana, usaha saya belum berbuah hasil. Orang tua di rumah juga mulai resah. Mereka meminta saya untuk pulang dan cari kerja di sana.
Apa boleh buat. Saya pun pulang. Meninggalkan perempuan yang sudah terlanjur saya suka. Saya masih ingat malam itu. Malam di mana saya harus pergi ke Surabaya dulu, sebelum besoknya terbang ke Banjarmasin. Saya, dengan motor bebek dan kardus-kardus barang di jok belakang, mampir ke kontrakan Dewi. Ingin berpamitan. Rasanya sulit sekali berbicara saat itu. Karena sibuk menahan air mata yang mau tumpah.
Saya memandanginya yang sedang sibuk mengikat tali kardus ke jok motor. Sebenarnya itu sudah saya lakukan dengan susah payah di kost. Tetapi Dewi, dengan santainya mengomentari, “Kak. Bisa jatuh loh itu kardusnya. Ikatannya gak kuat. Terus gak rapi juga, kayak orang gila pulang kampung.”
Kalimat itu membuat saya tertawa sekaligus semakin bersedih. Karena setelah ini, kami akan berpisah. Dan tidak tahu kapan akan bertemu lagi.
Saya tahu Dewi tidak mau LDR. LDR is never works, katanya.
Dan ya, memang betul. Seminggu setelah kepulangan saya, kami lost contact. Betul-betul tidak ada komunikasi sama sekali. Menyakitkan? Jangan ditanya.
Namun saat itu saya mencoba realistis. Saya berpikir, menjalin hubungan jaruk jauh sama saja seperti menunda patah hati. Jadi saya anggap, patah hati saat itu adalah keputusan yang terbaik. Di sisi lain, saya juga membangun sebuah rencana sederhana. Di mana saya harus segera mendapat kerja dan langsung melamar Dewi. Saya semakin semangat ketika orang tua saya juga mendukung rencana ini.
Alhamdulillah. Qadarullah. Allah melancarkan niat baik saya. Dua bulan berselang, saya akhirnya mendapatkan pekerjaan. Hari di mana saya diterima kerja, hari itu juga saya menelepon Dewi. Setelah sekian lama tidak berkomunikasi.
“Dek, Kakak sudah dapat kerja.”
“Oh ya? Alhamdulillah.” Dia jawab singkat.
“Kamu sudah ada yang khitbah belum?” tanya saya begitu.
“Hah? Be-belum.”
“Alhamdulillah. Insyaallah secepatnya aku sama keluarga mau melamar. Mungkin sementara kita via telepon aja dulu.”
“Oh iya, Kak. Doain aku juga ya, besok Sabtu mau sidang.”
“Loh? Beneran? Alhamdulillah.”
Pada saat itu, saya merasa Allah mengabulkan doa-doa saya di waktu yang bersamaan.
Singkat cerita, kami pun menikah di Kota Luwuk. Kota yang sebelumnya saya tidak tahu ada di Indonesia. Kota yang sangat-sangat jauh dari Banjarmasin. Yang kalau dilogikakan, seperti aneh sekali saya punya istri dari sini.
Apalagi pertemuan dengan pasangan hidup.
Saya pernah membaca sebuah cerita seorang dokter di Twitter. Cerita tersebut berjudul 'How I Found My Wife'. Ia bercerita bagaimana ia bisa bertemu istrinya melalui bisul. Silakan baca cerita lengkapnya di sini daripada menimbulkan asumsi yang aneh-aneh.
Bagi saya cerita tersebut sangat menarik, seru, lucu, dan unik. Saya pun akhirnya tergoda untuk mencoba menceritakan bagaimana saya bisa ‘bersama’ dengan istri saya. Mungkin cerita ini biasa saja. Tetapi saya harap kita bisa mengambil faedah di dalamnya.
Pertemuan kami sangat sederhana waktu itu. Suatu hari sedang ada kegiatan mahasiswa baru di kampus. Kami berdua panitianya. Kami sama-sama anggota BEM Fakultas. Itu adalah program kerja pertama kami.
Saya dari awal kegiatan memang nongkrongnya di pelataran gedung. Karena disuruh jagain makanan, takut ada yang ngambil. Na’as sekali pekerjaan saya saat itu. Tapi ya sudah lah.
Saat jam makan siang, seluruh panitia keluar. Termasuk istri saya di masa depan nanti. Dewi namanya. Ia keluar bersama teman-temannya kemudian berkumpul di salah satu sudut pelataran gedung. Kebetulan saya sudah ada di sana bersama teman yang lain. Kami pun berkumpul dan mengobrol.
Dari situ, saya jadi tahu bahwa di Indonesia ada kota bernama Luwuk.
“Luwuk?”
“Iya. Di Sulawesi Tengah,” ujar Dewi.
“Jauh dong?”
“Banget.”
Pada saat itu, saya masih biasa-biasa aja. Jadi mau rumahnya di Luwuk, mau di India, tidak ada masalah. Hehe.
Seiring berjalannya waktu, kami pun perlahan-lahan saling mendekat. Atau lebih tepatnya,
saya yang dekatin dia.
Pendekatan saya gak kampungan-kampungan amat. Waktu itu, biar saya bisa ketemu, alasannya adalah mau pinjam buku. Karena saya tahu dia punya banyak koleksi buku. Dan dia tahu saya suka baca dan nulis blog. Biar gak dikira modus-modus amat lah.
Singkat cerita, di akhir perkuliahan, kami benar-benar dekat. Frekuensi bertemu jadi lebih sering. Mengobrol juga bukan saat ketemu aja, tapi juga lewat chat. Dia tahu, saya suka sama dia. Begitu pula sebaliknya. Kegiatan saya saat itu juga hanya skripsi. Jadi kami banyak menghabiskan waktu bersama.
Permasalahan mulai muncul saat saya wisuda. Berhubung saya satu tingkat di atasnya, jadi saya lulus duluan. Dia masih harus menyelesaikan kuliahnya sekitar lima sampai enam bulan lagi. Rencana saya saat itu adalah, setelah lulus harus dapat kerja di Malang atau sekitarnya. Bukan pulang ke kota saya di Banjarmasin. Kenapa? Karena kami sudah kadung baper. Mau LDR pasti repot.
Namun takdir berkata lain. Kurang lebih tiga bulan di sana, usaha saya belum berbuah hasil. Orang tua di rumah juga mulai resah. Mereka meminta saya untuk pulang dan cari kerja di sana.
Apa boleh buat. Saya pun pulang. Meninggalkan perempuan yang sudah terlanjur saya suka. Saya masih ingat malam itu. Malam di mana saya harus pergi ke Surabaya dulu, sebelum besoknya terbang ke Banjarmasin. Saya, dengan motor bebek dan kardus-kardus barang di jok belakang, mampir ke kontrakan Dewi. Ingin berpamitan. Rasanya sulit sekali berbicara saat itu. Karena sibuk menahan air mata yang mau tumpah.
Saya memandanginya yang sedang sibuk mengikat tali kardus ke jok motor. Sebenarnya itu sudah saya lakukan dengan susah payah di kost. Tetapi Dewi, dengan santainya mengomentari, “Kak. Bisa jatuh loh itu kardusnya. Ikatannya gak kuat. Terus gak rapi juga, kayak orang gila pulang kampung.”
Kalimat itu membuat saya tertawa sekaligus semakin bersedih. Karena setelah ini, kami akan berpisah. Dan tidak tahu kapan akan bertemu lagi.
Saya tahu Dewi tidak mau LDR. LDR is never works, katanya.
Dan ya, memang betul. Seminggu setelah kepulangan saya, kami lost contact. Betul-betul tidak ada komunikasi sama sekali. Menyakitkan? Jangan ditanya.
Namun saat itu saya mencoba realistis. Saya berpikir, menjalin hubungan jaruk jauh sama saja seperti menunda patah hati. Jadi saya anggap, patah hati saat itu adalah keputusan yang terbaik. Di sisi lain, saya juga membangun sebuah rencana sederhana. Di mana saya harus segera mendapat kerja dan langsung melamar Dewi. Saya semakin semangat ketika orang tua saya juga mendukung rencana ini.
Alhamdulillah. Qadarullah. Allah melancarkan niat baik saya. Dua bulan berselang, saya akhirnya mendapatkan pekerjaan. Hari di mana saya diterima kerja, hari itu juga saya menelepon Dewi. Setelah sekian lama tidak berkomunikasi.
“Dek, Kakak sudah dapat kerja.”
“Oh ya? Alhamdulillah.” Dia jawab singkat.
“Kamu sudah ada yang khitbah belum?” tanya saya begitu.
“Hah? Be-belum.”
“Alhamdulillah. Insyaallah secepatnya aku sama keluarga mau melamar. Mungkin sementara kita via telepon aja dulu.”
“Oh iya, Kak. Doain aku juga ya, besok Sabtu mau sidang.”
“Loh? Beneran? Alhamdulillah.”
Pada saat itu, saya merasa Allah mengabulkan doa-doa saya di waktu yang bersamaan.
Singkat cerita, kami pun menikah di Kota Luwuk. Kota yang sebelumnya saya tidak tahu ada di Indonesia. Kota yang sangat-sangat jauh dari Banjarmasin. Yang kalau dilogikakan, seperti aneh sekali saya punya istri dari sini.
How I Found My Wife
Reviewed by Firdaus Ramdhan
on
20.3.20
Rating: 5